:: Bab XV ::

350 35 3
                                    

Mita membuka kedua matanya karena bunyi alarm yang tidak kunjung berhenti. Ia mengangkat tubuhnya dan menatap meja kerjanya yang berantakan.

Mita perlu waktu untuk mengumpulkan seluruh nyawanya. Juga waktu untuk menyadari bahwa ruangan yang ditempatinya saat ini bukanlah kamar kontrakan kumuhnya yang dulu. Pandangannya pun mengedar ke seluruh penjuru kamarnya.

Gadis itu membuang napas. Ia baru saja bangun namun tetap saja merasa lelah. Nampaknya, ia masih belum terbiasa dengan pekerjaan dan segudang tanggung jawabnya yang cukup berat.

Usai merapikan beberapa dokumen perusahaan yang sengaja ia bawa pulang, Mita beranjak keluar. Aroma wangi masakan langsung menyerbu kedua lubang hidungnya.

"Mita, tolong cicipin sup-nya, dong. Kurang asin atau gak?" pinta Anggi, yang nyatanya sudah berjibaku di dapur penthouse baru mereka sejak jam 5 pagi.

Mita pun segera mengambil sendok dan menyendok kuah sup yang mendidih. Bodohnya, ia tak mendinginkannya lebih dulu sehingga sensasi panas dan terbakar itu langsung menyerang bagian bibir dan lidahnya.

Karena itu juga, sudut bibir Mita yang terkena sendok panas pun jadi memerah. Ia meringis pelan ditemani tangan yang bergerak menyentuh bibirnya sendiri.

"Kamu bisa melukai bibirmu jika seperti itu."

Mita membeku. Seperti ada sesuatu yang langsung menyentak dadanya begitu suara itu terdengar di dalam kepala.

Kenapa juga suara Bramasta tiba-tiba hadir di dalam kepalanya? Mita menggeleng, tak habis pikir sendiri.

Ia pasti sedang berhalusinasi. Atau mungkin, ini efek kelelahan setelah bekerja sampai tengah malam tadi.

"Kak Mita, kenapa geleng-geleng sendiri?"

Petikan jari itu disusul oleh pertanyaan dari Warna. Pemuda itu tahu-tahu sudah berdiri di dekat meja kompor, bersebrangan dengan Mita.

Mita terkesiap, tentu saja. Suara Bram yang terus berputar di dalam kepala menyeretnya dalam lamunan tak berguna. Ia pun merutuki dirinya sendiri dalam diam.

"G-gak apa-apa, kok," jawab Mita, sekenanya dan sedikit tergagap. Ia lantas beralih pada Anggi yang nampaknya tak menyadari apa yang terjadi padanya barusan. "Sup-nya udah pas, kok, Mah. Mita mandi dan siap-siap dulu, ya."

Seperti yang dikatakannya, Mita bergegas kembali ke kamarnya sendiri. Ia mengambil handuk dan tak lupa menyiapkan pakaian yang akan ia gunakan untuk hari ini.

Namun, kesibukkan Mita untuk memadu padankan pakaian kerjanya mesti terganggu oleh sebuah suara yang lagi-lagi berputar di dalam kepala. Suara yang sama, dengan yang ia dengar sebelumnya.

"Kamu itu tidak tahu apa-apa. Mungkin untuk kamu, 4 miliar itu bukan apa-apa. Tapi, tidak untuk saya, tidak untuk orang-orang yang bergantung dari uang itu, tidak untuk orang-orang yang sudah kehilangan hak-nya!"

"Kalau begitu, beritahu saya! Apa yang sudah Papa saya lakukan sampai kamu ingin mencelakainya?!"

"Tidak sekarang, Mita."

Mita dibuat termenung. Ia tak mengerti mengapa ia jadi terus memikirkan Bram bahkan di waktu sepagi ini.

Tapi yang jelas, mengingat perkataan Bram memantik rasa penasarannya. Ia belum mendapatkan jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi hingga Bram begitu membenci Papanya dan menginginkan hal yang sama sepertinya.

4 miliar itu.

Apa yang akan dilakukan Bram dengan uang 4 miliar itu?

...

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang