:: Bab LXXVI ::

391 52 7
                                    

Kriet!

Pintu itu didorong perlahan. Untaian langkah menderap masuk seiring dengan baling-baling kipas yang berputar.

Helaan napas mengudara dari sela bibir Krisna yang tipis. Semua sesi penangkapan tidak mungkin berjalan mulus sepenuhnya. Kendati demikian, sejujurnya Krisna sempat berharap akan adanya kelancaran untuk misinya hari ini. Itu dilakukannya hanya sesaat sebelum ia menginjakkan kakinya di tempat tersebut.

Sayangnya, kehampaan apartemen yang kosong melompong itu mematahkan harapan. Bagaikan tempat yang ditelantarkan begitu saja, perabotan yang ada di sana mulai diselimuti debu dan sarang laba-laba. Krisna membiarkan partikel debu yang bisa saja merusak organ pernapasannya terhirup seraya berkacak pinggang.

"Dia kabur," gumamnya, menyebabkan orang-orang yang mengekor di belakang lantas menurunkan senjata api mereka perlahan-lahan. Kekecewaan berterbangan bersama helaan napas yang berat.

Dalam diam, ia mengamati keadaan yang terpampang di depan matanya lamat-lamat dan penuh perhitungan. Titah satu persatu lolos dari mulutnya dan membuat para bawahannya segera membagi tugas.

"Pastikan Ashraf Emran tidak meninggalkan negara ini. Minta bantuan imigrasi untuk mengawasi gerak-geriknya. Sementara itu, kita akan mencari tahu tempat yang bisa menjadi tempat persembunyiannya."

...

Satu persatu mobil dengan cat mengkilat memasuki pekarangan villa megah kepunyaan Putra Adiswara. Supir dari masing-masing mobil itu dengan sigap membukakan pintu untuk penumpang mereka. Termasuk Bram yang memang mengemudikan mobilnya sendiri, lantas membukakan pintu untuk sang istri.

Setelahnya, Bram dengan cekatan membantu Putra turun dari mobil. Dia bahkan menggendong pria itu untuk kemudian didudukkan di kursi roda. Ia tak begitu memperhatikan tatkala Putra menatapnya penuh arti.

Anggi mengambil alih kursi roda Putra, lantas mendorongnya masuk ke dalam villa. Di belakangnya, Warna mengekor sambil membawakan barang-barang mereka.

Mengikuti jejak kedua orang tuanya, Mita pun turut mengambil langkah. Namun, tidak sendiri melainkan bersama Bram yang senantiasa menggenggam tangannya dengan erat.

Inem yang baru selesai memastikan barang-barang milik Putra tak ada yang tertinggal pun menyalip untuk membukakan pintu. Aroma khas kayu yang halus dan menenangkan menyambut kehadiran mereka.

Mita berjalan mendekat pada Putra. Ia membalas senyum pria itu. Ada sedikit kekhawatiran dalam benaknya ketika ia menemukan getaran di bola mata Putra walau hanya sekilas.

"Untuk sementara, Papa di sini dulu, ya? Tidak apa-apa, kan?"

Putra mengangguk. Alih-alih sedih, ia memaksakan diri untuk terlihat antusias.

"Tidak apa-apa. Tempat ini jauh lebih menenangkan daripada di 'sana'."

Mita jelas mengerti tempat yang Putra maksud. Karena ia tahu situasi sang Papa dimana dia membutuhkan istirahat yang banyak dengan pikiran yang tenang, ia sengaja membawa Papanya untuk tinggal di villa terlebih dahulu.

Sempat ada pertimbangan mengenai Papanya yang mungkin saja trauma dengan villa itu. Mengingat kejadian yang membuat sang Papa hampir kehilangan nyawa terjadi di sana Namun, nyatanya Putra tidak menunjukkan kecemasan serius. Mita pun bisa bernapas lega.

"Kenapa kita gak pulang ke rumah Papa, Kak?" Warna yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. Dia sudah selesai dengan kegiatan mengamatinya, dan kini beralih menatap Mita. Akan tetapi, genggaman Putra mencuri perhatiannya.

Tatapan mereka bertemu. Untuk sesaat, Putra dibuat tertegun. Ia baru sadar bahwa dibanding Mita, Warna memiliki bentuk mata yang sangat mirip dengannya.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang