:: Bab LXXXIII ::

360 33 4
                                    

"Ashraf dilindungi banyak orang. Tidak mudah bagi kita untuk menangkapnya walau sudah banyak bukti yang kita dapatkan. Apalagi, dengan saya yang menghilangkan bukti-bukti itu. Saya minta maaf."

Ada penyesalan yang tersirat dari kata-kata Krisna. Hal itu memancing orang-orang di sekitarnya menghela napas kecewa. 

"Mau sesulit apapun rintangannya, kita harus membuat dia jera."

Sebuah sahutan berasal dari seseorang yang baru keluar dari kamar. Kehadiran Mita memantik kekhawatiran orang-orang, salah satunya adalah Bram.

Mustahil dirinya tidak khawatir, mengingat belum ada 2 jam Mita tertidur setelah sekian lama berjibaku dengan emosi yang tidak stabil karena berbagai masalah yang terjadi. Melihat penampilan sang istri yang tidak baik-baik saja tentu membuat hatinya tak tenang. Bram jelas tak lupa bahwa Mita sedang mengandung anaknya dan kondisi wanita itu sekarang bisa saja mempengaruhi kesehatan janinnya. 

"Kamu harus istirahat, Sasmita. Kenapa keluar lagi?" Bram menghampiri wanita itu, berniat mengajaknya kembali ke kamar. Namun, Mita menolak. Sang istri menatapnya dengan gurat penuh dendam di atas wajahnya yang pucat.

"Bram, kita harus menangkapnya."

"Saya mengerti. Saya dan yang lain pasti menangkapnya. Kamu cukup pentingkan kondisi kamu. Kamu tidak sendirian, Mita. Ada anak kita yang harus kamu jaga juga," balas Bram, seraya mengusap kepala wanita itu dengan penuh kelembutan. Ia lantas membawanya masuk ke dalam kamar dan menyuruhnya untuk menempati sisi kosong di sampingnya. Mereka berdua berbaring di ranjang.

Meski sulit untuk mencari posisi yang nyaman, Mita senang bahwa Bram bersedia memberikan lengannya sebagai bantalan. Sehingga ia bisa bersandar pada pria itu. Membuatnya mampu mendengar detak jantung Bram yang menjadi penenang untuknya. 

Bram dengan sabar mengusap-usap kepalanya, sesekali menepuk-nepuk seolah sedang menidurkan seorang bayi. Ia begitu telaten walau terkadang keras kepala Mita sering kambuh dan membuatnya lelah. Bram hanya ingin Mita baik-baik saja kendati situasi ini bukanlah perkara yang mudah untuk dilalui.

"Tidurlah. Saya akan temani kamu. Maaf karena tadi meninggalkan kamu saat kamu tertidur."

"Saya tidak bisa tidur dengan nyenyak, selama Ashraf belum tertangkap, Bram. Dia selalu datang ke mimpi saya, membuat saya ketakutan," aku Mita, mengeratkan rengkuhan tangannya pada pinggang Bram. Hembusan napas hangat pria itu menyereang pucuk kepala, memberikan gelanyar penuh kedamaian di hatinya. Sedikit-sedikit mampu memperbaiki kondisi hati Mita yang berantakan selama beberapa hari belakangan. 

Bram meraih dagu Mita, meminta wanita itu untuk membalas tatapannya. Ada pesan yang tersirat dari cara ia menatap wanita itu, "Saya ada di sini, Mita."

"Selama saya di sini, Ashraf tidak akan bisa mengganggu kamu. Apalagi mencelakai kamu."

Mita tidak menjawab namun bukan berarti ia diam. Ia berusaha memberi kepercayaan penuh pada kata-kata Bram yang menjadi obat penenang paling manjur untuknya. 

Namun, di sela-sela itu, ia merasa ada sesuatu yang menghantam dadanya. Ia terkesiap selama beberapa saat, tak bisa berbicara. Hingga Bram bergerak memeluknya, dadanya tak lagi terasa sakit. Mita yang tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi, hanya diam dan membiarkan sang suami mengeratkan pelukan pada tubuhnya.

Hanya saja, Mita tak bisa menepis firasat yang memberi sensasi tak nyaman di dalam hatinya. Entah bagaimana, ia semakin takut.

Ketakutannya bertambah puluhan kali lipat di saat ia berpikir bahwa Ashraf bisa saja melukai Bram alih-alih berhenti ketika sudah membuat dirinya hancur.

Lantas, kalau itu benar-benar terjadi, bagaimana Mita bisa bertahan nantinya?

...

Tok! Tok! Tok!

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang