:: Bab XXIX ::

383 41 10
                                    

Untuk menghabiskan malam pertama dengan status baru, dan malam-malam setelahnya sebagai pasangan suami istri, Putra menghadiahi satu unit penthouse untuk Bram dan juga Mita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk menghabiskan malam pertama dengan status baru, dan malam-malam setelahnya sebagai pasangan suami istri, Putra menghadiahi satu unit penthouse untuk Bram dan juga Mita. Keduanya pun masuk ke dalam unit tersebut bersama-sama.

Penthouse tersebut terdiri dari 2 lantai dengan tangga melingkar sebagai penghubung. Fasilitas yang sangat memadai dan menakjubkan membuat Mita terperangah. Bahkan, penthouse ini jauh lebih luas dan mewah ketimbang yang diberikan Putra untuk Mamanya dan Warna.

Jujur, Mita tak tahu harus melakukan apa sesampainya di sana. Melakukan ritual malam pertama seperti pengantin baru pada umumnya jelas bukan opsi yang bisa ia pilih. Opsi itu langsung lenyap bahkan tanpa sempat ia sematkan menjadi satu dari sekian pilihan. Pun, ia yakin Bram tak akan memikirkan hal tersebut, apalagi memilihnya.

Saat masih sibuk menjelajahi isi penthouse, Bram lewat begitu saja seraya berucap, "Kemari. Kita harus bicara."

Bram mengajaknya duduk di sofa. Berhadap-hadapan dengan meja kaca sebagai pemisah.

"Kita memang sudah menikah. Tapi, tetaplah bersikap seperti tidak ada apa-apa di antara kita," jelas Bram, membuka pembicaraan.

"Maksudmu?" Mita mengernyit, tak cukup mengerti.

"Kamu tidak berharap kita akan menjadi pasangan betulan hanya karena sudah menikah, kan?" singgung Bram. "Pernikahan ini cuma permainan, Mita. Baik kamu maupun saya, harus bertahan dengan cara masing-masing untuk memenangkan permainan ini."

Bibir Mita terkatup rapat. Ia mulai memahami kemana Bram akan membawa pembicaraan ini.

"Saya sudah menawarkan kerjasama tapi kamu menolak. Kita jelas bukan sekutu sekarang."

"Lalu? Kamu mengajak saya bicara hanya untuk mengingatkan tentang itu?"

"Kita hanya perlu urus urusan masing-masing tanpa perlu ikut campur satu sama lain. Terkecuali di depan umum dan di depan keluarga."

Bram menatap Mita lekat-lekat, "Benci dan abaikan saya sepuas kamu ketika kita di rumah dan jalani peran kamu sebagai istri yang penuh cinta untuk suaminya di depan mereka. Karena saya juga akan melakukan hal yang sama."

Semakin lama Mita membalas tatapan Bram, semakin perih hatinya.

Padahal, usulan Bram itu benar. Sangat benar. Mereka bukan pasangan sungguhan. Pernikahan ini hanya kedok agar mereka bisa memenuhi ambisi dan tujuan mereka. Jadi, memang sudah seharusnya mereka bersikap demikian.

Saling mengabaikan dan membenci dalam diam, dan berlagak seperti pasangan dengan cinta yang membara di depan banyak orang.

Akan tetapi, usulan itu justru terdengar pahit untuk Mita. Salahnya membayangkan punya kehidupan pernikahan yang normal, seperti pasangan-pasangan lain di luar sana.

Karena mau bagaimanapun, ia tak akan bisa mendapatkan itu. Ia tidak boleh lupa bahwa suaminya adalah Bramasta Rahardian. Pria yang menikahinya hanya untuk mewujudkan ambisi balas dendam.

4 Billion's Game [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang