Masih ada yang nunggukah setelah 'setahun' hiatus?
Ugh, senangnya bisa kembali ngerjain yang satu ini. Ini ban yang lumayan susah karena lama penulisannya. Mungkin karena kelamaan ditinggal, ide-idenya jadi menghilang, berantakan.
Setelah dua mingguan berkutat menulis bab ini, akhirnya rampung juga.
Here we go!
-----
Ghj
Lima.
Empat.
Tiga.
Dua.
Thomas, Newt, Minho, Brenda, dan Sonya memejamkan mata. Sesaat sebelumnya, mereka melihat ratusan shuriken melesat dari keempat sisi ruangan dan langit-langit. Pencahayaan padam saat bunyi lesatan shuriken itu terdengar. Tak akan ada yang mampu menahan tusukan ujung besi tajam itu sampai berpuluh kali. Tidak akan ada yang selamat. Jika tusukan shuriken itu tidak cukup dalam untuk melukai otak atau jantung mereka, mereka akan mati kehabisan darah. Dan kalau ada keajaiban yang membuat mereka masih hidup, mereka tak akan bisa merangkak keluar dari ruangan itu sebab pintu dan jendela langsung terkunci otomatis. Andaipun mereka tadi memilih masuk ke ruangan lain, mereka akan mengalami nasib yang sama naas. Shuriken-shuriken itu melesat setelah sensor suhu mendeteksi keberadaan manusia.
“Tidak salah kaumembawa benda kecil itu, Brend!” Minho mengelus dadanya. Monitor laptop yang memperlihatkan ruangan yang beberapa detik lalu mereka datangi itu tak lagi berwarna. Hanya hitam pekat. Penerangan di ruangan itu tak menyala kembali.
Thomas menoleh wanita yang duduk di sebelahnya, melepaskan senyum penuh rasa syukur dan terima kasih. Bukan Brenda jika datang kepada mereka tanpa sebuah rencana, dia menggumam dalam hati. Dan, demi apa pun, Brenda memang tidak akan pernah berkhianat pada mereka.
Keputusan mendadak untuk mendatangi markas kelompok dalang, tetap mereka eksekusi dengan rencana dan pemikiran yang matang. Brenda diam-diam menyampaikan rencananya pada Thomas bahwa dia akan membawa stasiun flat trans yang telah dimodifikasi hingga hanya berbentuk lempeng kecil. Brenda yang telah lama berada di tengah kelompok Dalang, cukup tahu kelompok Dalang tidak akan ramah pada siapa pun yang menginvasi markas mereka.
Flat trans itu mereka lewati hanya satu detik setelah mereka berada di ruangan dengan jebakan shuriken itu, mengirim mereka berkilometer jauhnya, ke tempat mereka berada sekarang, markas keempat kelompok Dalang. Tujuan yang hanya diketahui Thomas dari Brenda. Mereka sepakat tidak menjadikannya sebagai rencana rahasia sebab bergabung dengan kelompok Dalang mengajari Brenda untuk tidak mudah mempercayai siapa pun dan Thomas adalah orang yang dia percaya melebihi siapa pun.
Berkamuflase sebagai sekolah menengah umum, markas itu sempurna menyembunyikan aktivitas kelompok Dalang. Bahkan kelompok Dalang sendiri tidak tahu jika Brenda mengetahui keberadaan markas keempat itu. Namun, Brenda adalah Brenda. Rasa ingin tahu mengalir dalam tubuhnya, menderas dari waktu ke waktu. Tak pernah surut, apalagi mengering. Dan bukan Brenda jika tak dapat ‘masuk’ ke setidaknya satu hal yang menjadi rahasia milik kelompok yang kemarin dia ikuti kendati dia tak dilibatkan dalam rapat-rapat penting mereka. Mata dan telinganya terlalu tajam untuk dibatasi oleh apa-apa yang dikunci dengan kata ‘rahasia’.
Mereka berada di sayap kanan gedung sekolah itu. Tepatnya di lantai tiga, di sebuah gudang pennyimpanan bahan Kimia. Brenda tak tahu pasti ruangan tempat anggota elit kelompok Dalang itu biasa berdiskusi. Stasiun yang mereka lewati beberapa menit lalu, satu-satunya yang dapat dia akses di gedung itu. Jadi, mereka akan memulai pencarian dari sana.
“Apakah kita punya klu?” Newt bertanya seusai Thomas dan Brenda merapikan tablet dan memasukkannya ke dalam ransel hitam yang segera disandang Thomas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Misterio / SuspensoMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...