❗Rated 17+ ❗
Beralih dulu dari ketegangan. Bab ini akan sedikit mengaduk perasaan.
Be prepared, Guys!
-----------
Thomas menggenggam erat tangan Stephanie. Keringat dingin mengucur di dahi dan sekujur tubuhnya. Dengan jantung menggebuk rusuknya kencang, dia menatap nanar pada ancaman di hadapannya. Dia berusaha mengatur napasnya, berusaha berpikir tenang. Namun situasi yang tengah terjadi melucuti ketenangannya tanpa menyisakan selapis tipis pun. Lantas, menambalnya dengan berlipat-lipat ketakutan.
"Kau bunuh anak itu sekarang juga dan kubiarkan wanita ini selamat," lelaki berusia empat puluhan yang terlihat sangar dengan gaya preman itu menekankan pistol ke kepala wanita yang dia maksud, Brenda.
Terhitung sering dia dihadapkan pada pilihan sulit, tak ada bandingannya dengan saat ini. Akalnya sama sekali tak mampu membuat keputusan. Pun tak mampu memberikan pilihan lain. Genggaman tangannya pada Stephanie, dia bersumpah tidak akan melepaskannya. Tetapi, kedua kakinya membumi, menolak lari untuk menyelamatkan dirinya dan Stephanie yang artinya membiarkan peluru itu sungguh-sungguh membunuh Brenda.
Sementara itu, dengan mulut yang dibekap, Brenda menggunakan kedua matanya untuk berkomunikasi dengan Thomas, memohon agar Thomas memilih Stephanie. Permintaan yang langsung dipahami Thomas itu tidak secuil pun membuatnya condong pada satu pilihan. Dia masih mematung, menatap lekat Brenda, membuang detik demi detik yang dia sadari benar itu akan membawa Brenda pada kematiannya jika dia tak segera mengambil keputusan.
"Lakukan itu, Tommo," Stephani berbisik di telinga Thomas. Suara yang kaya akan kepasrahan itu terdengar lemah. Atau memang Stephanie dalam keadaan selemah itu. Setelah lari dari kejaran Pemburu yang membuat sebagian tubuhnya luka-luka, wajar sekali Stephanie kehilangan sebagian besar tenaganya.
Dari Brenda, dia menerima gelengan pelan, menolak diselamatkan.
"Kita tidak akan bisa mengalahkan takdir kematian, Tommo," bisikan Stephanie semakin lirih. Dia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Thomas, gerakan lemah yang dibalas remasan penuh tenaga dari Thomas.
Thomas masih bergeming.
"Kau memiliki lima detik," lelaki itu melotot, kemudian mulai menghitung, "Satu."
Brenda menggeleng lagi padanya. Thomas masih tak bergerak.
"Dua."
Andai tak ada rantai yang mengikat kaki Brenda ke tiang sialan itu, tentu saja Brenda tidak akan bergantung pada keputusan Thomas. Sebaliknya, dia sudah pasti membuat situasi berbalik. Atau paling tidak, sudah menghilang di balik gedung-gedung itu setelah menendang wajah lelaki itu.
"Tiga."
Faktanya, Brenda tak bisa berkutik. Rantai itu sungguh mematikan gerakannya.
"Empat."
"Tidak!" Thomas menyeru. Tangan yang digenggamnya melemah. Detik berikutnya, tubuh di sampingnya jatuh. "Tidak. Tidak. Tidak. Steph!"
Sebuah pisau kecil yang digunakan Stephanie menyayat lehernya terlepas dari pegangan tangannya. Thomas melirik benda kecil itu tanpa menyempatkan pikirannya mencari tahu asal pisau itu. Alih-alih, dia rusuh menekankan tangannya di leher Stephanie, mencoba menghentikan pendarahan meski nalurinya tahu itu tidak akan berhasil.
"Apa yang kaulakukan, Steph?" tanya Thomas sambil tangannya masih berusaha menutup luka yang menganga di leher Stephanie.
"Selamatkan," lirih Stephanie. Tangannya merayap, mencari tangan Thomas untuk dia genggam. "Selamatkan ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Misteri / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...