Hi, guys. sorry banget baru muncul. Bab ini seharusnya publis dua minggu lalu. gegara notebook tetiba mati, file hilang dah. dan baru, bisa publis sekarang. so sorry.
I hope you guys still into this story.
-----------
Hari ke-3
Bahaya itu, kadang lebih dekat dari urat nadi. Mengintai dari tempat yang tak terkira. Sebelum akhirnya, menyergap tiba-tiba.
Newt mengepal tangannya erat, menatap kesempatannya yang hampir habis. Tidak, dia berbisik lirih. Aku tidak akan kalah hari ini.
***
"Aku di sini saja." Suara Clarisse menyusup di tengah sepi.
Newt sedang berdiri di ambang pintu menuju balkon. Sebelah bahunya bersandar santai ke palang pintu. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Tertegun dia menengadah, menatap pucuk-pucuk gedung yang disorot ekor matahari, kekuningan. Sebagian langit membiru di sisi timur. Pagi merangkak perlahan. Dia sudah siap beranjak pergi. Penyamarannya sudah sempurna dengan rambut yang dicat hitam dan dikeriting, serta kumis palsu yang bertengger di bawah hidungnya.
Demi mendengar kalimat Clarisse, dia menoleh, mendapati gadis itu masih terduduk lesu di sudut tempat tidur, membelakanginya. Newt mengamatinya lamat-lamat. Clarisse menunduk, menatap lurus pada karpet bulu berwarna cokelat muda yang menutupi keramik. Dia tidak menoleh ketika mengucap kalimat itu dan dari gesturnya-sadar atau tidak oleh tatapan Newt itu, dia seakan sedang berusaha menghindari kontak mata. Newt mencoba mendalami gesture Clarisse demi menemukan alasan yang melatarbelakangi keputusannya. Ada yang salah, tentu saja.
"Kau yang memutuskan mengikutiku. Aku tidak akan pergi tanpamu." Dia menggerakkan kakinya, mendekati Clarisse yang sontak menegang.
"Kau pergi saja tanpaku!" elak Clarisse dengan nada sedikit memaksa.
Semakin dekat dengan Clarisse, semakin terlihat jelas deretan angka itu. Tertutup beberapa helai rambut yang tidak ikut terikat, ditulis dengan tinta hitam, menyatu dengan kulit lehernya yang putih pucat, itulah masalahnya. Kombinasi tiga angka yang sempat dilupakan Newt, membuatnya dilanda panik tiba-tiba. Hari yang diputuskan itu telah tiba.
"Kau tidak akan mati hari ini," tutur Newt sambil dia memperbaiki kerah baju Clarisse, menutupi angka-angka yang tertulis permanen itu. Lantas, dia melepaskan ikatan rambutnya, merapikannya dengan jemarinya sehingga orang lain tidak akan bisa melihat angka-angka itu.
Ada janji yang dia ikat kuat dengan nyawanya dalam setiap huruf yang dia ucapkan. Tidak sekadar bualan. Adalah balasan yang pantas janji itu setelah lebih dari sekali Clarisse menghindarkannya dari maut. Lebih dari itu, di luar yang terjadi belakangan, fakta mengagetkan yang masih mengusik hatinya, dia tidak yakin hidupnya setelah hari ini akan baik saja andai kelompok dalang menuntaskan takdir yang diputuskan lewat angka-angka itu.
Clarisse menoleh padanya. Tatapan cemas itu menjadi akses bagi Newt untuk menyelami pikirannya. Clarisse tidak ingin mengikutinya lagi sebab mulai hari ini akan ada banyak orang yang mengintainya, lantas memburunya. Bukan tidak mungkin, para algojo yang dikirim Sang Dalang itu juga akan membahayakan Newt. Dan, mereka dapat membunuh Newt kapan saja sebab lelaki itu tidak memiliki tanda takdir kematian.
"Ayo pergi!" Newt menggapai tangan Clarisse, menggenggamnya erat. Gadis itu menatapnya beberapa lama, menagih penegasan. Newt mengangguk mantap.
"Aku tidak ingin membunuh orang tidak bersalah," ujar Clarisse. Dia masih duduk di sudut tempat tidur itu seper sekian detik lagi. Anggukan kedua Newt membawanya bangkit. Sebelah tangannya masih berada dalam genggaman Newt yang mengerat. "Memangnya ke mana tujuanmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Mystery / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...