TDD19: Eyes to Eyes (Part 2)

202 25 9
                                    

Sebagai buronan, Newt cukup beruntung karena dia selalu menggunakan penutup wajah saat beraksi. Pun belum pernah ada sebuah video yang merekam aslinya, kecuali dari cctv. Tidak ada yang tahu tepatnya suara Newt, kecuali targetnya. Satu-satunya yang sama antara buronan polisi dan orang yang kini berjalan di sisi Minho adalah cara berjalannya yang sedikit pincang. Lagi, dia beruntung karena di Brooklyn, dia bukan satu-satunya yang punya masalah dengan kakinya. Maka, tak heran dia santai saja berada di publik dengan Minho.

Perpustakaan kota yang mereka datangi terletak di dekat pantai Manhattan. Gedung setinggi dua puluh lantai itu berbentuk balok dengan bagian atap membentuk buku terbuka. Sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca, membuat gedung itu tampak berkilauan di tengah hari cerah begini. Sebidang taman di depan gedung itu, menyempurnakan penampilan Perpustakaan Brooklyn itu.

Newt memimpin jalan memasuki perpustakaan itu. Menilik gesturnya yang tidak sedikit pun kaku saat memindai tanda pengenal, dia pasti sudah sering berkunjung ke tempat itu. Sementara, selagi mengikuti Newt, Minho menghabiskan waktu mengamati apa pun yang dapat ditangkap penglihatannya. Hanya ada orang-orang yang tidak dia kenali. Belum ada tanda-tanda keberadaan Sonya. Newt belum mengatakan apa pun lagi perihal Sonya, termasuk di mana tepatnya mereka akan menemukannya. Minho yang sudah mati penasaran tak bisa mengehentikan diri menebak-nebak dan setiap melihat sesosok perempuan muda berambut pirang kemerahan, jantungnya berdegup lebih kencang.

Sampai di lantai paling atas, Newt berlaga layaknya orang yang benar-benar datang untuk berkunjung. Dia mendekat ke salah satu rak yang berjajar di lantai itu, berlaga memilah-milah buku. Minho masih mengikutinya meski sesungguhnya dia sudah tidak sabaran. Dia mengikuti alur yang ditetapkan Newt karena dalam hal yang tengah mereka lakukan sekarang, Newt yang tahu situasinya.

"Auu," Minho mengaduh ketika seseorang tak sengaja menginjak kakinya.

Orang itu, remaja laki-laki sekitar delapan belasan menggumamkan maaf pelan. Tampangnya mengisyaratkan kecemasan begitu jelas. Bukan kecemasan untuk menghadapi reaksi Minho. Sesuatu lainnya. Saat meluruskan kembali pandangannya ke depan, dia menabrak Newt yang berdiri tak jauh dari Minho.

"Perhatikan langkahmu!" Newt memperingatkan.

Orang itu menggumamkan maaf lagi seraya sedikit membungkukkan kepalanya. Gelagatnya yang tak biasa, tak urung membuat Newt dan Minho memandangi punggungnya selagi dia menjauh dari mereka. Setelah anak itu mendudukkan dirinya di bangku kosong dekat jendela, barulah Newt dan Minho menarik panangan masing-masing. Sebagai gantinya, mereka bertukar tatap. Minho menggerakkan bibirnya, membentuk sebuah kata yang dengan mudah dipahami Newt, penerima. Newt mengangguk setuju. Samar, dia juga melihat adanya tato angka-angka di belakang leher anak itu.

Newt kemudian mengambil sebuah buku dari rak, memberi gestur pada Minho untuk beranjak. Minho turut menyertakan dirinya dengan sebuah buku yang sembarangan dia comot, sebelum dia melangkah mengikuti Newt. Mereka duduk tak jauh dari tempat orang tadi.

"Apa yang sebenarnya sedang kita lakukan di sini?" Pertanyaan itu terlontar juga dari Minho yang sudah sangat tidak sabaran.

"Menunggu," balas Newt singkat. Dia membuka buku yang dibawanya, membaca daftar isi dengan teliti seolah-olah dia memang ingin membaca buku itu.

Minho memutar bola matanya. Dengan malas, dia membuka asal bukunya. Bukan membaca, dia hanya menghentak-hentakkan jarinya pada buku itu sambil pandangannya sesekali disapukan ke sekeliling, berharap tiba-tiba mendapati keberadaan Sonya. Namun, yang diperolehnya beberapa menit berikutnya, adalah seorang perempuan usia tiga puluhan yang sama sekali tidak dia kenal.

Sekilas, perempuan itu tapak biasa. Perawakannya tinggi langsing. Celana panjang yang dikombinasikan dengan blazer membuat penampilannya terlihat formal. Rambutnya yang lurus dan panjang diikat kuncir kuda. Dia duduk sendirian dengan sebuah buku tebal di hadapannya. Tentu saja ada banyak perempuan di lantai itu yang teramati olehnya. Tapi, hanya perempuan itu yang menatapnya dengan provokatif.

The Death DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang