4.8.19
----------
652
“Thomas?”
“Shit, Minho!” Thomas melangkah turun. Dua detik berikutnya, dua lelaki itu sudah saling menubruk.
“Jadi, kamu seorang polisi sekarang,” Thomas melepaskan dekapannya. Dia memerhatikan Minho dengan sekali pandang. Minho memang tidak berseragam, tapi jeans hitam, jaket kulit, kacamata dan topi hitamnya, ditambah yang dia bicarakan dengan polisi itu membuat Thomas tidak sedikit pun meragukan dugaannya (Dan, percayalah, jika kalian pernah melihat film laga Korea, penampilan Minho sungguh sekeren pemeran utama dalam film-film itu).
“Belum, Thomas. Kita akan berbicara banyak setelah ini,” Minho memberikan sebuah kartu pengenal padanya. “Hubungi aku dua jam lagi.” Lalu, dia melesat menaiki anak tangga.
“Steph,” Thomas bergumam. Melihat Minho naik, dia teringat bahwa dirinya juga seharusnya bergegas ke atas.
“Mau apa ka—Tommo!”
“Steph!” Degup jantung Thomas seketika naik satu oktaf. Langkahnya bertambah cepat lagi. “Steph, katakan apa yang terjadi. Siapa yang masuk ke sana?”
Dia tidak mendengar jawaban dari Stephanie. Detik berikutnya, telinganya menangkap jeritan perempuan yang disusul oleh bunyi tembakan. Napasnya tertahan, semakin sulit dia manarik oksigen lantaran kecemasan kian menghabisi ruang di dadanya.
Dia sampai di lantai enam. Seseorang tergeletak di lantai. Dia cukup sekali melirik orang itu dan memastikan orang itu bukan Stephanie. Ironis memang menemukan dirinya merasa lega. Walau bagaimanapun, dia berduka untuk perempuan yang terbunuh itu. Cepat, dia meneruskan langkahnya.
Pemandangan yang dia saksikan begitu sampai di lantai delapan lebih dari cukup untuk membuat dia mengepalkan tangannya. Stephanie berada di depan pintu unitnya dalam penguasaan seorang lelaki. Dia berlutut. Lelaki itu memijakkan sebelah kakinya di kedua kaki Stephanie sehingga Stephanie tidak dapat bergerak. Rambutnya dijambak dengan kasar. Sebuah moncong pistol yang dipegang lelaki itu tepat menyentuh keningnya. Minho, serta dua orang polisi juga mengacungkan pistol mereka.
Thomas hanya bisa berdiri tanpa tahu yang harus dilakukannya. Stephanie menemukannya dengan cepat. Thomas sering melihat Stephanie ketakutan. Kali ini, yang ditunjukkan anak itu adalah yang terburuk yang pernah dia lihat. Dia tidak terima menyaksikan Stephanie diperlakukan begitu. Rasanya, ingin dia melompat ke depan, lantas menghajar lelaki itu. Sayangnya, dia tahu, lelaki itu dapat menekan pelatuknya sebelum sempat Thomas melayangkan tinjunya.
“Jatuhkan senjata kalian atau kupecahkan kepala anak ini!” lelaki itu mengancam.
Tidak seorang pun mematuhi perintahnya. Maka, lelaki itu menambah tekanan pada kakinya yang berpijak di kedua kaki Stephanie, membuat Stephanie meringis kesakitan. Thomas menggeram. Dia hanya sempat maju satu langkah. Minho menahannya.
“Kubilang, jatuhkan senjata kalian!” Dia menambah lagi tekanan pada kedua kakinya, juga menjambak Stephanie lebih kuat.
“Berhenti menyakitinya!” perintah itu diucapkan Thomas dengan tegas sekalipun dia sadari tidak ada gunanya sama sekali.
Minho dan kedua polisi itu akhirnya meletakkan pistol masing-masing di lantai. Selanjutnya, tentu saja lelaki itu menjambak Stephanie lebih kuat, memaksanya berdiri, kemudian menyeretnya sambil masih menempelkan moncong pistolnya ke kening Stephanie sampai dapat dia pastikan tidak ada polisi yang menunggunya di elevator dan di luar. Itu terjadi jika Gally yang posisinya tidak diketahui tidak melepaskan tembakan yang mengarah tepat ke paha lelaki itu. Mereka baru melihat Gally setelah dia keluar dari unit di depan unit yang dipunggungi Stephanie dan lelaki itu—tentu saja Gally memiliki kuncinya, dia pemilik apartemen ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Gizem / GerilimMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...