TDD39: Who's the Next Victim?

96 12 13
                                    

“Mereka di sini?” Anne bertanya pada seseorang di seberang telepon.

Mereka sekarang berada di rumah sakit. Sonya baru saja mendapat penanganan dari tim medis. Mereka hendak bergerak ke lokasi yang dicurigai Brenda ketika ponsel Anne bordering. Panggilan penting menurutnya. Lewat percakapan yang turut didengarkan Thomas dan yang lain, mereka tahu kalau seseorang di seberang telepon itu Clarisse. Clarisse mengabari bahwa Stephanie dan Lucifer telah dievakuasi dari rumah labirin. Berdasarkan pertanyaan Anne barusan, tahulah mereka keberadaan Stephanie dan Lucifer.

“Britney!” Bahkan sebelum Anne menyelesaikan telepon, Brenda lebih dulu menemukan Stephanie yang baru saja keluar dari ruang ICU. Pakaian Stephanie yang dipenuhi noda darah membuat hati Brenda mencelos. Seketika, dia berlari menemui Stephanie. Thomas menyusul tepat di belakangnya.

“Brit, apa yang terjadi? Siapa yang melukaimu?” Dengan tangan yang sedikit gemetar, Brenda menangkup wajah Stephanie.

Anak gadisnya terlihat buruk. Wajahnya terlihat pucat dengan mata yang sembap. Dia masih menangis tatkala Brenda menghampirinya. Alih-alih menjawab dua pertanyaan ibunya, Stephanie menghambur ke pelukan ibunya.

Beralih dari Stephanie dan Brenda, Thomas menoleh jendela kecil di pintu ruang ICU. Samar-samar dia melihat seseorang perempuan tengah mendapat tindakan dari seorang dokter. Ada juga seorang perawat di dalam sana yang posisinya menghalangi ruang pandang Thomas yang mencoba mencari tahu identitas perempuan itu. Namun, sejatinya itu hanya untuk mengonfirmasi. Dia sudah bisa tahu sejak melihat Stephanie keluar seorang diri dari ruangan itu. Lucifer. Apa yang terjadi padanya?

“Aku membunuh seseorang, Mom,” Stephanie bertutur di tengah isaknya.

Thomas menoleh lagi ke ruangan ICU. Tentu saja orang yang dimaksud Stephanie bukan Lucifer. Walau dia sama sekali tidak memiliki ide mengenai keadaan Lucifer saat ini, setidaknya dia tahu Lucifer selamat.

“Dan Lu …” Suara bergetar Stephanie terhenti. Dia menoleh ruangan Lucifer. Emosi meleleh lagi, meluncur turun dari kedua sudut matanya. Kedua tangannya melingkari punggung Brenda dengan lebih erat. Keterpukulan yang dapat dirasakan oleh siapa pun yang melihatnya.

“Semuanya akan baik-baik saja,” Brenda mengelus rambut putrinya, mencoba memberi kekuatan walau dia sendiri tidak seyakain itu dengan ucapannya. “Semuanya akan baik-baik saja,” ulangnya.

“Ada pengkhianat di tim kita.” Suara berat yang kentara dengan rasa kesal itu dituturkan oleh Deputi John yang mendekat bersama Deputi Miller. “Separuh pasukan yang ikut mengamankan terbunuh oleh Sersan David dan antek-anteknya.”

“Sersan David?” Thomas menyipitkan mata. Keningnya berkerut. Dia ingin menuding pendengarannya keliru.

“Seharusnya, aku mengutarakan kecurigaanku lebih awal agar kalian lebih berhati-hati.”

Thomas mendesah frustrasi. Tak dapat dia bayangkan kacaunya situasi di rumah labirin selama dia dan yang lain mendatangi markas Kelompok Dalang. Frustrasi, amarah, dan sesal berkembang di dadanya dengan cepat. Lantas, bertransformasi menjadi energy yang dalam sekejap, merambat hingga ke sebelah tangannya yang terkepal. Bergetar kepalan tangan itu. Dan tidak ada yang paling dia inginkan saat ini, selain mendaratkan tinjunya ke rahang Sersan David.

“Maafkan aku tidak bisa melindungi mereka,” Deputi John menepuk bahu Thomas sekali. Mimiknya pekat dengan rasa bersalah. “Lucifer tertembak.”

Saat pintu bergerak di belakang Sersan David, Deputi John melihat Deputi Miller sehingga dia mengubah bidikan ke sisi kiri. Deputi Miller dan Stephanie menembak orang yang sama, yaitu Sersan David. Akan tetapi, tembakan Stephanielah yang membunuhnya sebab peluru hasil bidikan Stephanie menembus kepala Sersan David. Sementara itu, Deputi John menembak seorang anggota polisi pengkhianat. Namun, Deputi John terlambat satu detik. Orang itu lebih dulu melepaskan tembakan yang mengarah tepat ke Lucifer.

The Death DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang