“Aku tahu yang ada di kepalamu selain Newt, Thomas,” Minho memulai. Ia mengambil dua buah minuman kaleng dari kulkas. Salah satunya dia buka. Ditegaknya minuman itu sampai habis setengahnya. Mengambil tempat duduk diagonal dengan Thomas, dia memberikan minuman kaleng yang masih utuh kepada Thomas. “Hazza menceritakan semuanya setelah tim Sersan David dan aku menyelamatkannya. Taruhan denganku, dia selamat. Dia telah menghabiskan belasan tahun hidup dengan seorang penjahat. Dia tidak akan mati dengan mudah.”Thomas membawa ingatannya kembali ke kediaman Smith. Tangannya bagai dapat merasakan tubuh Brenda yang dia rengkuh. Nyeri yang menusuk timbul dalam dadanya seiring dengan kembalinya kenangan itu. Tanpa dia sadari, sebelah tangannya mengepal erat seakan mencoba meredam sakit itu.
“Aku seharusnya berpikir begitu,” tapi, dia mengambil sikap yang semestinya. Menolak diperbudak kecemasan yang siap merajainya. “Dia akan kembali padaku. Atau aku yang akan mengambilnya. Cepat. Atau lambat.”
“Terdengar seperti Thomas yang berbicara,” Minho menyeringai. Dia meneguk sisa minuman kaleng miliknya. “Sebelum itu, kita harus menggunakan energi kita untuk sesuatu yang lebih penting.”
“Yeah, menghentikan kelompok Dalang.” Thomas meraih minuman kaleng di dekatnya, meminum isinya. Dingin yang melewati kerongkongannya membantunya mendinginkan kepala. Dia menunggu anggukan dari Minho untuk mengonfirmasinya. Namun, yang ia peroleh dari Minho ialah ekspresi murung, membuat Thomas mengerutkan keningnya sambil memberi tatapan menuntut. Adakah hal lain yang tidak diketahui Thomas, yang saat ini menjadi perhatian Minho?
“Aku mendapat email dari pengurus panti.”
Thomas menarik punggungnya dari sandaran kursi. Dia langsung tahu yang tengah menjadi perhatian Minho. “Ada apa dengan Gally dan Harriet?”
“Kita harus pergi ke Queens.”
***
Lucifer sedikit keliru ketika menginformasikan pengelola website milik kelompok Dalang, yakni seorang penjaga toilet umum. Nyatanya, ketika Hazza dan Stephanie sampai di tempat yang dilacak Lucifer, di sebuah toilet umum yang terletak di alun-alun kota, tak mereka lihat seseorang yang menjaganya. Tentu saja, toilet umum itu bagian dari fasilitas pemerintah yang siapa pun dapat menggunakannya secara cuma-cuma.
Meski demikian, Hazza dan Stephanie memutuskan untuk menunggu di sebuah kafe yang tak jauh dari toilet umum itu. Mereka memilih tempat duduk yang berbatasan dengan jendela. Sedapat mungkin mereka mengintai toilet umum itu tanpa mengundang curiga pengunjung lain. Telah mereka peroleh informasi yang lebih akurat bahwa memang ada seorang pemuda yang bekerja di tempat itu. Tetapi, tugasnya membersihkan toilet.
“Brit, aku akan meminta Deputi John menjemputmu,” Hazza membuka percakapan. Meski sekarang tatapannya mengarah pada Stephanie, sudut matanya tetap fokus mengawasi area sekitar toilet umum itu.
Stephanie yang sedang melihat-lihat buku menu mengangkat wajahnya, memandang Hazza dengan kening terlipat. “Eh?”
“Mungkin berjam-jam kemudian dia baru akan kelihatan. Aku lebih suka kau berada di tempat yang aman, dengan orang-orang yang bisa menjagamu.” Hazza memperjelas maksudnya.
Stephanie menutup buku menu. Dia mengedarkan pandangannya untuk memanggil seorang pelayan. Seorang lelaki muda yang mengenakan celemek dan topi polkadot berwarna merah khas pegawai kafe itu mendekatinya.
“Aku mau ini dan ini,” ujarnya sambil menunjuk gambar item menu yang tersedia. Dia lalu menoleh Hazza. “Mau pesan apa?”
“Brit!” Merasa ucapannya tak ditanggapi, Hazza menatap tegas.
“Buatkan ini masing-masing dua,” putus Stephanie, masih tak memedulikan Hazza.
Pelayan itu pergi setelah mengonfirmasi sekali lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Mystery / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...