TDD28: Lucifer

124 16 9
                                    

Sawasdee kha!

Pertanyaan pembuka: Lucifer itu apa? Nama tempat atau nama gedung atau???

-----------


Ledakan itu terdengar sangat keras. Disusul seper sekian detik kemudian, material aspal yang pecah mengambur ke udara. Debu mengepul, membentuk gumpalan pekat serupa awan berwarna cokelat. Tidak ada korban jiwa. Cukup kepanikan yang membawa penduduk berhamburan keluar. Atau sekadar mendekat ke jendela. Perhatian terpecah, termasuk milik kelima polisi yang mengepung Newt dan Clarisse. Situasi yang dimanfaatkan benar oleh mereka.

Terlambat satu detik polisi itu menyadari Newt dan Clarisse telah meloloskan diri dari mereka. Orang yang paling pertama melihat pergerakan mereka segera mengejar, diikuti dua rekannya. Sementara, dua polisi lainnya mendekati pusat ledakan yang menyisakan lubang besar di tengah jalan.

Merasa identitasnya terlanjur terbongkar—sebab tidak mungkin dia dikepung polisi dan tidak ada orang yang tertarik menonton, Newt mengangkat pistolnya begitu dia dan Clarisse merangsek masuk ke dalam sebuah butik. Dia menodongkannya pada orang yang pertama kali dia temui dan menggunakan orang itu sebagai sandera. Itu cukup untuk membuat semua orang dalam butik itu ketakutan dan tidak ada yang berani mendekat. Ketika tiga polisi itu masuk, Newt dengan tenang menekankan pistolnya pada kepala sanderanya, memaksa polisi menghentikan gerakannya satu langkah di belakang pintu butik itu.

“Jatuhkan senjata kalian!” titah Newt penuh ototritas.

Bersandar di belakang punggung Newt, Clarisse awas mengawasi orang-orang yang berada dalam butik itu, yang lwat gesturnya berhasil dia kumpulkan di satu titik.

“Jatuhkan senjata kalian atau orang tak bersalah akan mati hari ini!” Newt menegaskan.

Sanderanya yang adalah perempuan muda berusia tiga puluhan terdengar mencicit minta tolong. Wajahnya pucat-pasi. Pipinya basah oleh air mata ketakutan yang mengalir deras dari kedua pelupuk matanya.
Polisi itu menggunakan satu-satunya pilihan yang dia miliki. Masing-masing pistol yang mereka genggam dijatuhkan ke lantai.

“Semua senjata kalian!” tuntut Newt, tahu benar pistol itu hanya satu dari sekian senjata yang dibawa ketiga polisi itu. “Semua yang ada di saku, jaket, semuanya jatuhkan!”

“Kita tidak—”

“Katakan selamat tinggal—” Newt menambah tekanan telunjuknya pada pelatuk. Dia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya sebab ketiga polisi itu lebih dulu menyerah. Tiga buah pistol dan sejumlah amunisi, serta sebuah belati berserakan di lantai.

“Sekarang, mundur!”

Ketiga polisi itu bergeming, memaksa Newt mengulang perkataannya. Masih tak mau bergerak, Clarisse mengambil tindakan. Dia menembakkan pistolnya, mengarah pada kumpulan orang-orang. Hanya dia belokkan beberapa derajat dari orang yang berdiri paling luar. Tak ayal, orang-orang dalam butik kian kalap.

“Tetap berdiri di sana dan aku tidak akan ragu menembak langsung kepala mereka,” ancam Clarisse. “Dalam hitungan ketiga, menjauh dari tempat ini.” Clarisse membidik lagi. Kali ini, dia arahkan tepat pada salah seorang yang menangis ketakutan. “Satu.”

Ketiga polisi itu mundur bersamaan. Tanpa melepaskan sanderanya, Newt menggunakan kesempatan itu untuk melangkah maju, bersamaan dengan Clarisse yang mundur. Sebelah tangannya yang memegang pistol tak sedetik pun digerakkan untuk membidik arah lain. Setali tiga uang, Clarisse masih mengunci sasarannya.

“Dua.”

Ketiga polisi itu sekarang berada selangkah dari pintu butik. Newt melangkah lebih cepat, mendorong ketiga polisi itu mundur lebih jauh lagi. Sampai di luar, Newt tidak serta-merta melepaskan sanderanya. Dia masih menunggu momentum yang tepat untuk lari. Memahami dengan benar isi kepala Newt, Clarisse menugaskan dirinya mencari celah.

The Death DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang