Long long long time not see you, guys!
I am so sorry for not updating this story.
kemaren-kemaren beneran tenggelam dalam kesibukan dunia nyata. anggaplah saya sedang berusaha mengejar beasiswa untuk lanjut S2. Entahlah bakal dapet atau nggak, setidaknya usaha dulu. haha
Mudah-mudahan masih ada yang mau baca cerita ini. kayaknya, ini bukan bab terakhir. Gak tahu nih, pas nulis pasti ada aja yang bikin tiba-tiba memanjang.
Here we go!
----------
"Jangan tanyakan padaku sialan! Aku tidak tahu." Stephanie menyeru.
Ruangan itu terbuka. Gelap menyambut mereka. Dalam hitungan detik, bola besi beterbarangan menyerang mereka. Stephanie dan Clarisse sudah berlindung di balik dinding. Stephanie tahu cara menghentikannya. Itu yang segera dia lakukan, memindai jarinya di pemindai tak kasat mata—bagi yang tidak tahu, itu biasa. Lontaran bola besi itu berhenti. Disusul oleh Clarisse, Stephanie melangkah masuk tanpa perlu meraba-raba arah dengan tangannya. Dia sudah sangat hafal markas Lucifer. Dia tahu bagaimana lampu di ruangan itu dinyalakan. Dia tahu hampir semua detail tentang markas itu, kecuali hal-hal yang dengan rapat Lucifer sembunyikan untuk dirinya sendiri.
Stephanie berhenti di tengah-tengah ruangan, membiarkan dirinya menatap setiap jengkal ruangan dan menggali memori yang disuguhkan apa pun di sekitarnya. Dia merasa sangat emosional. Betapa pun perasaan itu mendominasinya saat ini, Stephanie fokus mencari sesuatu yang mungkin luput dari perhatiannya dalam memori yang dia punya. Dia mengingat dan mengingat Lucifer, berharap mampu memecahkan teka-teki sahabatnya itu.
"Aku akan mencari sesuatu," ujar Clarisse.
Stephanie hanya mengangguk tipis. Dia menutup matanya. Dalam gelap, dia melihat kilatan-kilatan kenangan. Seharusnya dia fokus pada apa-apa yang mendekatkannya pada jawaban. Namun, tak semudah itu. Terlalu banyak memori yang bertebaran di ruangan itu, malah membuat kepalanya berdenyut sakit. Akhirnya, setelah sepuluh menit berdiam, Stephanie bergerak. Dia mendekat ke sebuah kandang.
"Hei, Jupiter."
Kucing yang malang itu diam tak mengubah posisnya. Pun tak mengeong.
"Kau pasti punya firasat soal Lu." Stephanie membuka kandang Jupiter. Kucing itu masih diam tak bereaksi. Diambilnya Jupiter untuk dia gendong. Barulah Jupiter mengeong.
"Aku sedih, Ju. Aku kangen Lu." Seperti yang biasa dilakukan Lu dengan Jupiter, Stephanie mulai mengajak Jupiter berbincang. "Kau tahu, sesuatu terjadi pada Lu."
"Kaumenemukan sesuatu, Steph?"
Stephanie menoleh. Saking tenangnya Clarisse yang bergerak tanpa suara, Stephanie hampir lupa dia tidak sendirian di Markas Lucifer.
"Belum." Setphanie berbalik menghadap Clarisse.
"Lucifer sepertinya sangat berhati-hati. Tidak ada petunjuk sama sekali. Aku akan meneruskan mencari."
"Um." Merasa tindakannya tak ikut membantu, Stephanie menurunkan Jupiter dari gendongannya. Dia berjongkok. Sebelum beralih, dia memberitahu Jupiter, "Lucifer sudah tidak ada. Dia terbunuh."
BOOMMMM!
Sesuatu yang mengejutkan terjadi, membuat Stephanie tersentak mundur dan Clarisse sigap menarik Stephanie lebih jauh lagi.
"Apa yang terjadi?" Clarisse menatap Stephanie.
Stephanie menggeleng bingung.
Jupiter bukan lagi seekor kucing tak berbulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Mystery / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...