Kuy, itung bareng-bareng,
Satu
Dua
Tiga
Here we go!
---------
"Aku tak percaya kaumelakukan itu padanya," ungkapan itu terdengar penuh rasa kesal dan frustrasi.
Thomas maju selangkah lagi. Dia dapat melihat isi ruangan itu lewat pintu yang terbuka lebar. Terdapat sebuah meja dan dua buah kursi yang disusun berhadapan di ujung ruangan itu. Selebihnya, hanyalah ornamen-ornamen dinding dan empat buah lampu yang dipasang di langit-langit ruangan. Ada dua orang dalam. Seorang duduk di kursi, menghadap keluar. Seorang lagi berdiri menghadapnya. Dia hanya perlu mengamati sekilas untuk mengawinkan yang ia peroleh dari indera pendengarannya dengan yang terlihat di hadapannya. Postur itu cukup dia kenali. Apalagi, model rambut orang itu, seperti tidak berubah sama sekali. Dia tidak mengira akan dipertemukan dengannya dengan cara yang sangat aneh.
"Takdir tak berpihak padanya!" Seseorang dengan suara lebih berat itu menjawab.
"Persetan dengan takdir kematian sialan itu!" Seseorang yang suaranya Thomas kenali menjawab dengan intonasi tinggi dan penuh amarah. "Di mana dia sekarang?"
Thomas melangkah masuk. Dalam ruangan kosong itu, langkah kakinya terdengar cukup jelas bagi dua orang yang tengah dia datangai. Perhatian keduanya seketika tercuri. Bersamaan, mereka menatpa ke arahnya. Orang yang duduk, perlu memiringkan wajahnya sebab ruang pandangannya terhalangi. Thomas dapat melihat rupanya dengan jelas dan dia yakin tidak mengenali orang itu.
"Thomas? Bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Aku memiliki pertanyaan yang sama denganmu," hingga Thomas memosisikan dirinya sekitar satu meter di depan orang yang berdiri, dia baru menlanjutkan, "Hazza."
Terkejut, heran, dan kawan-kawannya berkecamuk memenuhi wajah Hazza. Taruhan, ingatan Hazza saat ini tengah mengulang peristiwa yang menjadi awal kehancuran hubungan Clarisse dengan Newt. Seperti merasakan datangnya sesal yang tak pernah dia ucapkan, Hazza menundukkan wajahnya sesaat.
"Apa yang kaulakukan di sini?" Thomas menegaskan pertanyaan yang sudah jelas diwakili mimik wajahnya.
Terakhir dia bertemu dengan Hazza, dia belum memberikan penilaian untuknya. Sama dengan yang dipikirkannya kala itu, dia tidak dapat memutuskan baik atau buruknya seseorang hanya dengan mengacu pada satu kejadian. Dia butuh tahu lebih dari itu. Katakanlah, sampai saat ini, dia masih menunggu.
"Baiklah, sebuah reuni kurasa," Pria yang duduk di belakang Hazza menginterupsi mereka. Dia bangkit dari kursinya seraya mengatakan, "Kutinggalkan kalian berdua." Lantas, dia berjalan melewati meja. Thomas mengira dia akan lurus menuju pintu yang beberapa saat lalu dia lewat. Ternyata, dia berbelok ke kiri, menuju sebuah pintu yang Thomas baru menyadari keberadaannya.
"Siapa dia?" Thomas bertanya setelah pria itu menutup pintu. Tak banyak waktu yang dia gunakan untuk mengobservasi pria berusia empat puluhan itu. Dari kesan singkatnya, dia tidak menyukai pria itu. Terutama, cara menatapnya yang mengintimidasi dan penuh otoritas, mengingatkan dia pada orang-orang berakal pendek anggota WICKED yang pernah menjadi musuhnya.
***
"Aku akan pergi," Stephanie bangkit dari kursinya.
Dia, Minho, dan Newt memisahkan diri di dapur setelah yang lain bangun dan setelah Harriet memberi mereka sarapan. Bukan tanpa alasan, mereka tidak ingin menciptakan kecemasan dalam suasana yang masih terasa hangat. Pada orang-orang yang mempertanyakan keberadaan Thomas, mereka kompak menjawab Thomas dijemput oleh rekan-rekan polisi Minho.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Mystery / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...