Hwaaa, ini telat hampir dua minggu dari ekspektasi. Sorry, guys. Belakangan lagi keracunan Super Sentai.
Enjoy this.
---------
Ruangan pertemuan di apartemen Gally itu lengang sejak kedatangan Thomas lima menit yang lalu. Belum ada yang bersedia membuka obrolan. Thomas mengepalkan tangannya. Wajahnya terlihat sangat tegang. Matanya beberapa kali melirik ponsel, tapi benda itu layarnya masih menghitam. Di sebelahnya, Stephanie duduk tak kalah tegang. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan resah. Sementara, Gally sibuk melancarkan tatapan curiga pada Stephanie. Harriet duduk terpisah di sudut ruangan, sibuk dengan laptopnya.
"Bagaimana bisa rencana kita diketahui?" Thomas memecah hening. Ucapannya diiringi hentakan kepalan tangannya pada meja yang terbuat dari kayu jati itu. Getaran yang dia buat merambat hingga ke tempat Gally menaruh sebelah tangannya, mengubah arah pandang lelaki itu.
Belum habis dia berpikir, Thomas mencondongkan tubuhnya, mengusap keningnya yang berkeringat meski ruangan itu berpendingin. Sebelah tangannya yang lain meraih ponsel, hanya untuk memastikan yang sudah pasti, tidak ada pesan atau telepon masuk.
"Ya, bagaimana bisa?"
Nada menuduh yang kentara dari Gally mencuri perhatian Thomas. Ekspresi yang membalut wajah Gally serasi dengan nada bicaranya, membuat Thomas menggeleng. "Tidak lagi, Gally. Apa lagi yang kaubutuhkan untuk mempercayainya?"
"Sebanyak yang kaubutuhkan untuk tidak mempercayainya."
Thomas menggeram. Dia baru membuka mulutnya ketika Stephanie yang merasa dirinya diangkat ke dalam percakapan berkata tajam, "Aku tahu, kau tidak pernah menyukaiku. Itu saja cukup untuk membuatmu menilai buruk semua yang ada padaku. Tapi, menuding aku yang membocorkan rencana kalian sedangkan aku berada dalam pengawasan Tommo selama 24 jam sehari terdengar bodoh sekali."
Thomas berusaha keras menahan tawa dan hanya membiarkan senyum tipis melengkungkan bibirnya. Pernyataan Stephanie lebih dari cukup. Dia tidak perlu lagi membelanya.
"Berikan ponselmu, ... Britney!" Gally memberi penekanan lebih saat menyebut nama asli Stephanie, seolah dia ingin menegaskan kebenaran itu pada Thomas dan Stephanie.
Stephanie melirik Thomas sebelum menaruh ponselnya di meja dan menggesernya ke dekat Gally. "Memangnya kaupikir apa yang kulakukan dengan benda itu, selain bermain gim?"
Tak peduli dengan ucapan Stephanie, Gally mengambil ponsel itu.
"Kata kuncinya 6297BRIT dengan huruf kapital," Stephanie menambahkan.
Kombinasi angka yang diucapkan Stephanie membawa Thomas kembali ke dekat rel kereta. Sejak saat itu, dia selalu mengingatnya, hitungan hari takdir kematian untuk Stephanie meski dia tidak tahu angka-angka itu akan berakhir kapan. Dia telah berjanji untuk mematahkan takdir kematiannya dan dia berharap tidak terlambat.
"Mereka datang!"
Suara Harriet mengagetkan Thomas, membuyarkan lamunannya. Seperti dirinya, Gally dan Stephani pun sontak menoleh Harriet yang bertolak menuju pintu. Mereka bertiga saling tatap sebelum memutuskan menyusul Harriet yang seperti hendak menyambut siapa pun yang akan datang.
Selang belasan detik, pintu apartemen Gally terbuka, membawa masuk Newt, Minho, Clarisse, dan ... tentu saja Sonya. Gadis yang terlihat lebih dewasa itu belum mengucap apa pun, Harriet lebih dulu menariknya ke dalam pelukan. Pemandangan yang mampu melonggarkan sedikit tegang yang menjera mereka.
"Aku menghabiskan setiap hari merindukanmu. Aku tidak percaya, akhirnya aku bisa sampai di hari ini." Harriet melepaskan pelukannya.
Sonya menunjukkan reaksi bingung. Tiga atau empat detik hingga dia mengenali sosok yang baru saja memeluknya. Senyum lebar yang dia terbitkan mengubah tatanan wajahnya. "Harri-et?"

KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Misteri / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...