So.... I'm officially back! Happy can come back writing here after long period of bad days.
Semoga masih ada yang bersedia baca. ☺
Here we go...
-----------
"Ini bahkan kurang dari sepersepuluh dari yang kutemukan di gudang senjata Gally." Minho menumpahkan isi ranselnya, membuat empat buah pistol semiotomatis, serta beberapa box amunisi tambahan berserakan di atas meja. Dia lalu menjatuhkan bokongnya di sofa, diagonal dengan sofa yang ditempati Thomas.
Newt yang bersandar di dinding dekat jendela, melangkah mendekati meja yang sekarang dipenuhi senjata itu. Dia mengembil salah satu, lalu duduk di sebelah Thomas. Dia gunakan jemarinya untuk menjelajah setiap inchi pistol itu, memerhatikan dengan saksama.
"Aku tidak tahu apakah aku masih dapat membidik tepat dengan menggunkan benda ini," ujar Newt. Dia menaikkan tangannya. Pistol itu sekarang hanya beberapa inchi dari wajahnya. Pandangannya masih meneliti pistol itu.
"Jangan berpikir untuk menggunakan pisaumu, Newt!" Minho memperingatkan. Tak terdengar nada yang serius meskipun ucapannya tidak main-main.
Pisau yang dilibatkan Minho dalam percakapan mengingatkannya pada misi yang sengaja dia tangguhkan. Terlihat angka pada pengingat waktu yang masih dia kenakan, terus berkurang dan berkurang. Dia belum mendapat panggilan dari kelompok Dalang. Tapi, dia tahu sekali cepat atau lambat, pembelotannya akan diketahui mereka dan itu berarti bahaya besar. Anehkah jika dia mengaku ancaman itu tidak membuatnya takut berlebihan? Berada di tengah tim terbaiknya, Thomas dan Minho membuatnya merasa kuat. Dia yakin dengan keputusannya. Bukan dengan membunuh orang-orang tak bersalah, kekuatannya sendirilah dibantu teman-temannya yang akan melindungi Sonya.
"Hanya karena aku kekurangan uang untuk membeli senjata begini, pisau itu dulu sangat berguna." Newt melirik Minho, menerbitkan senyum tipis.
"Berharap ini periode terakhir berurusan dengan senjata." Minho meletakkan tangannya di sandaran sofa. Dia berpaling dari Newt. Tatapannya menerawang, melewati dinding di hadapannya. Segaris rindu terbentang di wajahnya. Cukup kelas. "Aku rindu hari-hari menenangkan di Safe Haven. Tak ada yang perlu dicemaskan, selain binatang buas."
Thomas masih tenang di posisinya. Bersandar pada punggng sofa, dia justru diam-diam mengamati Stephanie yang berdiri di belakang sofa yang ditempati Minho. Tatapan gadis itu mengawang, menunjukkan dengan jelas gadis itu tengah melamun. Resah yang mengacak tampilan wajahnya mengindikasikan dia melamunkan bukan hal yang menyenangkan. Tidak heran, dia akan segera kembali ke tempat yang Thomas tidak tahu akan sangat dia benci. Dia mungkin mengharapkan pertemuan dengan ibunya, lebih dari apa pun untuk saat ini. Namun, mengingat di tempat itu lebih banyak potensi musuh, dia sebenarnya lebih suka mengurungkan niat itu.
"Jadi, ayo buat ini yang terakhir." Thomas mengambil salah satu pistol. Dia keluarkan terlebih dahuli pelurunya sebelum dia membawa pistol itu kepada Stephanie. "Kau pernah menggunakan ini sebelumnya, Steph?" Thomas menunjukkan pistol itu.
Dipaksa menarik diri dari lamunan, Stephanie sedikit terhenyak. Dia mengedipkan kedua matanya demi meraup fokus dengan cepat. Dia mengamati pistol di tangan Thomas dan hanya butuh satu detik untuk memutuskan. "Senjata yang pernah kugunakan hanyalah—"
"Oke, lupakan ketapelmu," potong Thomas, tahu benar mainan yang selalu digunakan Stephanie. Dia memang sudah menduganya, Stephanie hanyalah gadis lugu yang dipaksa menjadi lebih tangguh dan lebih berani karena situasi yang tidak menguntungkan. "Ini akan lebih berguna." Thomas menyodorkan pistol itu.
Stephanie justru menatapnya, seperti izin yang sudah Thomas berikan tidak cukup untuknya. Maka, Thomas mengangguk. Stephani ragu-ragu mengambil senjata itu. Minho dan Newt ikut memerhatikan dari tempat mereka. Bak diminta menunjukkan bakat di hadapan ribuan orang, Stephanie menjadi sangat gugup. Getar tangannya terlihat sangat jelas, bahkan dari tempat Newt duduk. Dia mencoba mengacungkan pistol itu. Gerakannya terlihat sangat parah. Buruk sekali untuk orang yang baru pertama kali memegang pistol. Minho sampai harus menyipitkan matanya demi melihat tampang pias Stephanie.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Mystery / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...