"Jadi, kau yang mengacaukan flat trans, membuat kami melakukan perjalanan waktu, lalu terdampar di sini?" Hazza memastikan. Keningnya terlipat rapat. Matanya menajam. Ekspresinya adalah campuran dari rasa heran dan tidak percaya.
Sementara itu, Lucifer yang baru saja membuat pengakuan mengejutkan hanya mengangkat bahunya. Tangannya tak lepas mengelus Jupiter, kucing kesayangannya yang tak memiliki sehelai pun bulu. Persoalan serius itu seperti tak lebih penting dari memanjakan kucingnya. Stephanie yang sudah sangat mengenal Lucifer hanya sekejap membulatkan kedua bola matanya. Selebihnya, yang tersisa dari tampangnya adalah perwujudan dari rasa bangga pada sahabatnya yang jenius itu. Hanya Thomas yang tak mengubah air mukanya. Datar.
"Bagaimana kaumelakukannya, Lu?" Hazza masih penasaran.
"Aku hanya membantu Kakek."
Thomas mengerjapkan matanya. Kata terakhir yang disebutkan Lucifer mengarahkan fokusnya pada nama yang dia pikirkan. "Aris?" tanyanya dengan penekanan penuh.
Demi menjawab Thomas, Lucifer mengangkat wajahnya. Ditatapnya Thomas dengan mantap, lantas dia mengangguk. "Kakeklah yang menarik kalian sehingga tidak terjebak di ruang antardimensi, tempat di mana waktu berhenti. Kakek mencurahkan waktunya setiap hari, demi membawa kembali teman-temannya. Aku tidak sabar melihat wajahnya andai dia tahu, dia sudah berhasil."
Lucifer mengembalikan perhatiannya pada Jupiter. Matanya berbinar selagi dia mengembang senyum.
"Di mana Aris sekarang?"
"Di tempat dia seharusnya berada."
***
Dalam pencahayaan temaram dari senter yang dia genggam, Newt tergesa-gesa mendekati elevator di lantai berikutnya. Kejanggalan yang dia rasakan semakin jelas seiring dia melangkah semakin jauh melewati lorong tu. Seperti sengaja dikosongkan, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang lain. Orang-orang yang menyerang mereka pun tak lagi terendus jejaknya. Pintu-pintu yang tertutup rapat itu seakan dapat dia lihat, tidak menyembunyikan apa pun, kecuali kesunyian. Suasana yang jauh berbeda dengan ketika dia dan Clarisse mendatangi hotel itu kemarin malam. Apik sekali kelompok Dalang membuat rencana untuk mengalahkan mereka, di sini, saat ini.
"Clare?" Berharap mendapat respons setelah di elevator sebelumnya tidak mendengar apa pun, Newt mengetuk pintu besi itu keras-keras. "Clare, kaumendengarku? Apa kau ada di dalam?"
Tetapi, hanya desau angin yang berasal dari embusan napasnya, yang dapat dia dengar. Selebihnya, sunyi. Kesunyian yang menggetarkannya demikian hebat.
"Clare?" Newt menggedor lebih keras. "Clare, apa kau di dalam?"
Sepi menjawabnya dengan lantang. Tak mau membuang waktu, Newt segera beranjak. Berlari dia terpontang-panting menuju tangga menual, melompati tangga itu, lantas terbirit menuju elevator berikutnya. Senter di tangannya bergerak tidak karuan, membuat area terang terlempar mengikuti pergerakan senter.
"Clare?" Newt menggedor seperti dia tidak memiliki waktu lagi. Berisik yang dia hasilkan menggema sepanjang lorong. Gaung berdengung di telinganya, beradu kencang dengan ketakutan yang mulai menciptakan suara-suara mengerikan. "Clare, apa kau di dalam? Clarisse! Jawab, aku!"
Lagi-lagi, tak ada jawaban yang dia terima. Newt mulai membayangkan, peluru itu mengenai Clarisse alih-alih penjahat itu. Dia membunuhnya. Bukannya menyelamatkan Clarisse dari orang yang hendak membunuhnya, justru Newtlah yang membunuhnya.
"Clare?" Kian nyata rasa takut itu, kian bringas dia menggedor pintu elevator. "Clarisse, kumohon, jawab aku!" dia merapatkan telinganya ke pintu, berharap mendengar bisikan atau apa pun yang dapat menjadi pertanda adanya kehidupan di dalam elevator. Selain dingin yang tertangkap kulit daun telinganya, tidak ada apa pun lagi. Sunyi. Kubus itu agaknya sungguh tidak mengangkut siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Misteri / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...