"Apa kau gila?" Clarisse menuding Hazza yang duduk di sebelahnya. Dia menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan yang baru saja didengarnya. "Orang yang kausebut, kau tahu siapa dia."
"Ya, aku tahu." Hazza mengangguk pasrah. Dia menurunkan punggungnya. Terlentang dia di atas pasir putih yang selembut es krim. Wajahnya menghadap lurus ke langit malam yang meriah oleh taburan bintang.
"Semua orang di tempat ini tahu, Brenda kekasihnya Thomas."
"Aku tahu," jawaban yang sama.
Di antara bintang-bintang yang jumlahnya tak terhitung itu, dia merangkai kenangan. Tampak dalam pandangan matanya yang terjadi pagi tadi. Sebelum terang menyentuh Safe Haven, dia membangunkan Brenda yang tertidur dalam pelukannya. Dia mengharapkan jeritan kaget, atau paling tidak tatapan melotot penuh selidik. Tetapi, gadis itu menatapnya dalam setelah mengerjap beberapa kali.
"Aku masih ingin di sini."
"Oke," Hazza memperbaiki posisinya, memberi jarak beberapa inchi di antara dirinya dan Brenda. Mendadak canggung menguasainya. Dia kehilangan kata-kata dan kemampuan untuk beraksi. Hanya bisa menghadapi kekakuan dirinya.
"Soal yang terjadi semalam—"
"Kau tidak usah memikirkannya. Aku tahu kau tidak benar-benar tidak menginginkannya. Jadi, tidak apa-apa jika kau ingin kita melupakannya. Aku tidak akan mengatakan apa pun. Aku akan menganggap itu tidak pernah terjadi." Hazza mengatupkan mulutnya di ujung kalimat. Lidahnya bagai sebuah pistol otomatis yang baru saja di tekan pelatuknya. Kalimat-kalimat panjang itu meluncur begitu saja dari lidahnya. Dia sendiri tidak tahu dari mana kata-kata itu berasal sebab tentu saja itu bukanlah yang sejatinya dia inginkan.
"Baiklah." Brenda mengangguk. Tatapannya masih bersatu dengan Hazza.
"Aku ... aku rasa aku harus pergi duluan, sebelum ada yang melihat kita di sini." Dengan itu, Hazza buru-buru meninggalkan bangsal.
Demi benar-benar melupakan peristiwa itu, dia ikut tim pemburu. Sebenarnya, dia bermaksud menguntit Clarisse. Sayangnya, gadis itu sudah pergi sebelum jam sarapan. Dia kembali sebelum petang. Sementar, Clarisse belum kembali sampai senja menggantung di Safe Haven. Hazza baru menemukan Clarisse saat orang-orang bersiap untuk tidur. Gadis itu terlihat menyantap makan malam sendirian di dapur umum. Hazza mendatanginya. Hingga sekarang ini, Hazza masih menguntit Clarisse.
"Apa ada yang tahu?"
"Eh?" Hazza mengedipkan matanya. Suara Clarisse merenggutnya dari lamunan.
"Apa kau pernah membicarakan soal ketertarikanmu pada Brenda dengan orang lain?"
"Tentu saja tidak."
"Bagus."
"Apa yang harus kulakukan?"
Clarisse memutar wajahnya, menatap langsung kepada Hazza. "Baguslah kaumenanyakan ini padaku. Kau harus menyudahi perasaanmu dan jangan membuat rencana untuk mendekatinya!"
"Kenapa? Kau cemburu?" Hazza melempar senyum menggoda.
Clarisse memutar bola matanya. "Semua orang di sini menghormati Thomas, terutama Gally. Oh, dan Jorge. Kalau kau ingin hidup dengan tenteram di sini, jauhi masalah!"
"Tapi, Thomas tidak ada sekarang."
Clarisse menajamkan tatapannya.
"Oke, oke. Aku akan berusaha semampuku, tapi tidak janji."
Clarisse memalingkan wajahnya pada gelombang air laut yang kejar-mengejar memburu pantai. Hazza memahami itu bukan sekadar kepuasan atas jawaban yang diberikan Hazza. Lebih dari itu, adalah caranya mencegah Hazza melihat emosi di wajahnya. Maka, Hazza mengangkat punggungnya, kembali dalam posisi duduk. Diraihnya bahu Clarisse untuk dia remas erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Mystery / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...