2.9.19
-----------
I apologize for being super-long until this chapter out, guys. As I've told previously, recently, I've been so busy.
This is for you, guys.
-----------
383
Langkahnya mengendap-endap. Pisau itu dipegangnya erat. Napasnya memburu. Jantungnya berdegup kencang. Seperti ketika pertama kali dia melakukannya. Sudah beberapa kali, ternyata perasaannya tetap sama. Tidak bisa leluasa. Gentar atas rasa bersalah yang semakin menggunung. Bulir-bulir keringat yang muncul di separuh wajahnya adalah bukti konkret bahwa dia tidak suka melakukan tindakan kejam itu.
Kendatipun dia berkeringat, sebenarnya udara malam lumayan dingin. Jaket kulit hitam yang dikenakannya tak cukup apik menangkal sarangan dingin. Satu lagi alasan dimilikinya agar dia segera beranjak dari arena renang yang tengah disatroninya. Lebih baik dia membawa sepeda motornya kembali ke rumah mungil di pinggir sungai, lantas tidur berselimut tebal dan berharap akan mimpi indah. Opsi itu sangat menggoda.
Namun demikian, satu alasan yang dipegangnya cukup kuat untuk mencegahnya mundur. Rasa cinta memang sanggup mengalahkan logika. Bahkan tak jarang melawan nurani. Dalam kacamata cinta, pemahaman benar atau salah itu semu. Semua selain cinta, itu tidak penting, surealis.
Dia sangat menyadari begitulah cara mencintai yang salah. Lagi-lagi, dia harus membela diri, bahwa dia tidak seratus persen salah. Dia tidak pernah keliru dalam menerjemahkan cinta. Situasilah yang memaksanya belajar menjadi egois. Atau sebenarnya, dia hanyalah seorang pengecut yang terlalu takut melawan seseorang yang memiliki kuasa?
Piuh. Dia menghela napas. Selalu saja begitu. Selalu pecah peperangan dalam dirinya. Sulit sekali menjadi jahat dan tidak mendapat penolakan dari dirinya sendiri.
Sensor itu mengeluarkan cahaya yang semakin terang. Warnanya hampir menguning ketika dia melewati batas lorong untuk berhadapan dengan ruangan luas dengan tiga buah kolam renang besar. Pandangannya langsung menumbuk sosok yang dicarinya. Detak jantungnya yang sangat cepat itu bagai berhenti seketika. Tangan yang seharusnya mengambil sebilah pisau justru dijatuhkan kembali. Napasnya tertahan demi mengakurkan proporsi tubuh figur itu dengan seseorang yang dia sangat kenal. Sejatinya, cukup sekali pandang, dia langsung mengenali orang itu.
Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin orang itu adalah dia? Sangat mustahil. Lalu, apa yang dia lihat waktu itu? Ilusi? Orang lain dengan kedok mirip dirinya?
Menolak langsung percaya, dia melangkah lebih dekat. Sensor itu mengeluarkan cahaya yang semakin terang. Pun semakin dia menghapus jarak, semakin luntur keraguan yang sudah tipis itu. Satu hal, dia dengan keras kepala memupuk keyakinan, ada orang lain di sini. Dia mungkin tidak dapat melihatnya, tapi orang itu benar di sini. Dan sensor miliknya tidak bermaksud mengarahkannya pada orang yang berdiri tegak membelakanginya.
Tetapi, ketika hanya tersisa sejauh dua meter di antara mereka, sensor itu sempurna berwarna kuning.
"Halo, Newt."
***
Segaris senyum tercetak di langit-langit. Hanya sebuah perwujudan dari kenangan yang berkarat di kepalanya. Dia telah menghabiskan beberapa minggu di Brooklyn, rindu dalam dadanya membengkak dengan cepat. Dia ingin melihat senyum itu lagi dalam wujud yang nyata. Oh, rasanya, sudah lama sekali sejak terakhir kali dia menggenggam tangannya, memeluknya, menghirup aroma tubuhnya. Dia ingin melakukan semuanya lagi. Dia ingin membangun lagi momen-momen untuk dikenang sepanjang hidupnya. Dia ingin. . . Brenda-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Destiny
Mystery / ThrillerMereka memasuki sebuah era di mana kematian sebagian bukan lagi menjadi rahasia takdir. Adanya kepastian 'waktu' bagi sebagian orang membuat dunia menjadi tak terkendali bagi orang-orang yang menyadarinya. Membunuh untuk mendapatkan kehidupan lebih...