TDD40: The Villain

119 17 23
                                    

Kota terasa sunyi sore itu. Bising yang biasa meraja di jalan raya tak terdengar tingkahnya. Jalan-jalan sempit di tengah permukiman hanya dilalui debu yang diterbangkan angin, serta dedaunan kering yang mulai berguguran. Penduduk kompak mengunci diri di dalam rumah, bergenggaman dengan cemas yang menolak diusir. Hanya kelompok hewan yang tak paham bahasa manusia yang memberi kesan kota itu masih hidup. Kelompok Dalang berhasil menebar teror. Berita yang belum dapat dikonfirmasi kebenarannya itu sudah tanggung dikonsumsi publik.

Akan tetapi, suasana berbeda dimiliki rumah sakit terbesar di kota itu. Jajaran brangkar di instalasi gawat darurat penuh oleh pasien-pasien yang baru teregistrasi pagi tadi. Perawat dan dokter super sibuk. Bunyi langkah kaki meramaikan setiap lorong. Ditambah isak cemas setiap keluarga yang menjadi korban, serta doa-doa yang terbang ke langit, ramai membalut atmosfer rumah sakit.

Stephanie berada di ruang rawat Hazza. Setelah terlibat percakapan singkat dengan sang ayah, Stephanie membawa dirinya ke dekat jendela. Sambil memandangi suasana kota sore itu, dia berpikir keras. Garis tegas yang terbentuk di keningnya terlihat mendominasi di antara hamparan duka yang membentuk ekspresinya beberapa jam terakhir.

"Jangan terlalu dipikirkan, Brit," Hazza menyarankan. Dia sedikit menyesal telah membagi informasi yang belum pasti, yang dia dapat dari Clarisse itu kepada Stephanie. Mereka sudah dalam situasi sulit. Membuat Stephanie mencemaskan satu hal lagi, sama sekali bukan hal yang bagus. "Clare bisa jadi hanya asal berbicara," tambah Hazza, peruasif.

Stephanie menarik pandangannya dari parkiran rumah sakit yang dipadati kendaraan itu. Dipindahkan arah pandang dia pada Hazza yang wajahnya sudah sedikit merona dibandingkan beberapa jam lalu. "Itu bisa juga benar. Lu memang misterius. Walaupun kita cukup dekat, tidak tahu berapa banyak dia menyimpan rahasia dariku."

"Kalaupun itu benar, biarkan Clarisse yang mengurus soal itu, Brit. Kau tidak perlu risau."

Stephanie mendesah. Dia berjalan mendekati brangkar Hazza. "Dari semua orang di lingkaran kecil kita, aku yang paling mengenal Lucifer." Suaranya terdengar memberat saat nama itu dia ucapkan. "Seharusnya, aku membantu Clarisse mencari tahu."

Hazza menatap Stephanie lamat-lamat. Saat membicarakan perihal informasi itu, yang ada dalam pikirannya hanya mengajak Stephanie berbicara untuk sejenak mengalihkan Stephanie dari kesedihan setelah sahabatnya dinyatakan meninggal. Sakit yang berpusat di kedua kakinya membuat dia serampangan berbicara. Lupa menimbang sebab-akibat. Padahal, dia sendiri pun lebih suka informasi itu tidak benar. Betapa pun dia memiliki kemungkinan untuk kembali, sedikit atau banyak, dia telah beradaptasi dengan hari ini. Kembali sama artinya dengan kehilangan.

"Lalu, apa yang akan kaulakukan? Atau apakah Lu pernah mengatakan sesuatu sebelum...?"

Stephanie mengangkat bahunya. "Atau aku terlalu bodoh untuk mengerti kode-kodenya." Dia mengalihkan pandangan dari Hazza, menatap objek yang tak terpetakan dalam jangkau penglihatannya.

Di tengah hiruk-pikuk rumah sakit, hening mengudara di tengah mereka. Baik Hazza maupun Stephanie, melahirkan tanya dalam benak masing-masing sekaligus mencari jawabannya. Menit ke menit berlalu tanpa salah satu mau menginterupsi terlebih dahulu hingga pintu didorong terbuka. Hazza dan Stephanie sontak menoleh. Clarisse dengan wajah serius mendekat.

"Aku tidak menemukan apa pun." Dia menggeleng kepada Hazza, belum tahu topik yang dia angkat sejatinya juga sudah diketahui Stephanie.

"Biarkan aku membantu!" Stephanie mengajukan diri. Dia menatap Clarisse dan Hazza bergantian dengan raut wajah meyakinkan.

***

"Gally?" Thomas menuding seorang remaja lelaki yang telah duduk di samping kursi kemudi. Dengan kening berkerut, dia menyimpulkan rupa remaja itu dengan nama yang begitu saja dia ucapkan. Bagaimana tidak, postur dan wajah remaja itu sangat mirip dengan Gally versi remaja. Hanya pembawaannya yang berbeda, remaja itu tampak lebih ramah. Namun, tentu saja, Thomas segera menyadari kekeliruannya. Betapa pun besar kemiripan antara Gally dan remaja itu, dia bukan Gally.

The Death DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang