TDD9: I Got You

243 32 16
                                    

24.7.19

----------

512

Dia bersembunyi di dalam sebuah kardus besar. Napasnya cepat, tapi dia berusaha tidak membuat suara. Cukup suara pria itu saja yang memenuhi ruangan ini. Lengkingannya terdengar mengerikan. Tidak berlebihan. Yang sedang terjadi padanya menjadi alasan yang sangat dapat diterima.

Dia tidak melihatnya. Demi apa pun, dia sudah menutup kedua matanya sejak Pengeksekusi itu menusuk pria itu. Dia kira, semuanya akan berakhir secepat pisau itu menancap di tubuh si pria. Namun, tidak sesingkat itu. Pengeksekusi yang biadab itu agaknya sedang bermain-main dengan korbannya. Dia tebak orang itu sedang memainkan pisau yang tertancap di tubuhkorban itu. Sungguh, tidak bisakah pembunuh itu sedikit memiliki hati? Seharusnya, dia melakukan dengan cepat agar korbannya tidak menderita begitu.

Walau bagaimanapun, ada alibi lain dia menginginkan Pengeksekusi itu segera menyelesaikannya. Tentu saja, dia tidak mau menjadi korban selanjutnya. Kardus itu sungguh bukan tempat persembunyian yang bagus. Dia bisa bisa jadi akan tertangkap beberapa menit lagi, dan jeritan itu ... oh rasanya semakin menambah kecepatan degup jantungnya. Belum lagi, bau darah yang terperangkap hidungnya. Sungguh, dia ingin muntah. Dia tidak berpikir sanggup berada di sana lebih dari satu menit lagi tanpa menunjukkan keberadaannya.

Derap langkah yang menggema di ruangan kedap suara ini sedikit melegakannya. Tidak salah lagi, Pengeksekusi itu telah pergi. Ya, dia tahu, tidak seharusnya dia sekhawatir ini karena ini bukan gilirannya. Pengeksekusi itu tidak akan menghabisinya. Tetap saja, siapa yang sanggup dengan leluasa menyaksikan pembunuhan dan tidak merasa takut sama sekali? Kecuali orang itu memiliki jiwa pembunuh yang sama besarnya dengan si pembunuh, dia tidak yakin ada orang seprti itu.

Dia mengangkat kardus itu pelan-pelan melewati bahunya, kemudian kepalanya. Belum terbuka kedua matanya, degup jantungnya sudah semakin bertambah cepat. Saat dia bisa mengintip di antara bulu matanya, seketika dia merapatkan kembali kedua matanya. Yang ada di hadapannya jauh dari  jenis pemandangan yang suka dia lihat. Sangat tidak manusiawi ... sangat-sangat mengerikan ... pembunuhan yang benar-benar ... oh, lihatlah, bagaimana mungkin seseorang dapat melakukan itu, mengambil sesuatu dari dalam perut korban, kemudian merangkainya menjadi tulisan 'dead'? Dia benar-benar ingin muntah dan dia harus menahannya sampai dia berhasil keluar dari studio musik ini.

Mau tidak mau, dia membuka kedua matanya. Tentu saja dia lakukan setelah dia membalik badan. Dengan langkah panjang-panjang, dia meninggalkan ruangan ini. Buru-buru dia putar gagang pintu. Dia sudah siap berlari ketika kutemui sebuah moncong pistol mengarah tepat ke dahinya. Pemburu! Dan, tanpa berdosa, pria itu tersenyum.

"Apa kata terakhirmu?" tanyanya. Semakin dia tambah tekanan pada jarinya.

...

Thomas memaku pandangannya pada Stephanie yang berbaring di tempat tidur, tepat di seberang sofa yang dia tempati. Resah membalut ekspresi Stephanie dengan sangat jelas. Lebih ditegaskan lagi dengan caranya mencengkeram selimut, seakan dia tengah berada dalam situasi yang sangat mencekam. Thomas ragu antara harus membangunkannya atau membiarkan saja. Dia velum memutuskan ketika kedua mata Stephani akhirnya membuka.

"Kamu tidak apa?" spontan Thomas bertanya.

Stephanie masih belum pulih dari apa pun yang terjadi dalam mimpinya, membuatnya agak terkejut ketika dia menoleh dan menemukan Thomas menatapnya dengan awas. Mungkin lupa, dia tidak sendirian di kamar hotel itu. Setelah mereka menemukan kesepakatan di pinggir rel kereta itu, dan mendapati Thomas sama tidak punya arah seperti dirinya, dia membiarkan Thomas ikut bersamanya.

"Aku oke," Stephanie menjawab pendek. Dia membalik badannya, berbaring dengan punggungnya. Wajahnya menghadap langit-langit yang terlihat berwarna abu-abu di dalam ruangan yang remang dengan pencahayaan yang hanya bersumber dari lampu tidur itu.

The Death DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang