TDD8: The Death Destiny

262 34 47
                                    

15.7.19

-----------

So, guys, siapa yang udah nonton Spiderman: Far from Home?
Belum? Nonton buruan. Recommend pake banget.
Itulah sebenarnya alasan TDD baru bisa publis sekarang. Susah move on dari FFH. Sehabis nonton itu, kerjaan malah ngulang Spiderman: Homecoming dan film Marvel lain. Setelah, berjuang melawan gravitasi film Marvel, jadilah baby 8 ini. Rada-rada panjang nih.

Selamat membaca!

-----------

441


Thomas merasakan sesuatu yang sejuk baru saja melewati kakinya. Dia menggerakkan kakinya. Terasa basah. Tangannya bergerak, meraba kepingan-kepingan batu di sekitarnya. Oh, sepertinya dia berbaring di atas kerikil. Dia membuka matanya seiring dengan kesadaran yang perlahan-lahan dia panggil. Pungungnya ditarik hingga dia dalam posisi duduk.

Sebuah sungai besar membentang di hadapannya. Tak jauh darinya, berdiri sebuah jembatan, menghubungkan dua daerah yang terbelah sungai. Gedung-gedung pencakar langit tampak di seberang. Cahaya lampu yang berasal dari gedung-gedung itu membuat malam semarak. Dia menengadahkan wajahnya. Pandangannya bertemu dengan langit yang terlihat hitam pekat. Tidak ada penunjuk waktu dan dia masih tidak ingat bagaimana prosesnya hingga dia terdampar di tepi sungai.

Termenung sambil menatap permukaan sungai, dia mencoba memanggil ingatannya. Usaha kerasnya hanya mampu mengembalikan dia pada momen dia berada di sebuah stadion. Dia melihat puluhan ribu orang di sekelilingnya, mendengar mereka meneriakan semacam lagu yang asing di telinganya. Dia ingat seseorang menanyainya sesaat sebelum dia hilang kesadaran. Hanya sampai di situ ingatannya. Selanjutnnya, kosong.

Setelah beberapa menit, dia bangkit. Kedua kakinya membawa dia menjauh dari tepi sungai. Tanpa tahu arah. Tanpa sedikit pun memiliki pengetahuan mengenai kota yang tengah ditelusurinya. Setidaknya, dia tahu satu hal. Dia sedang mencari Newt dan diam tidak akan membawa Newt ke hadapannya. Dia perlu bergegas untuk memastikan temannya itu baik-baik saja. Semoga Newt memang ditransfer ke tempat yang sama dengannya.

Kota itu cukup padat. Bangunan berimpitan satu sama lain. Tidak banyak tempat untuk pepohonan. Akan tetapi, jalanan yang dilewatinya sepi. Hanya beberapa kendaraan roda empat yang melintas. Dia bahkan belum menemui satu pun pejalan kaki. Sebuah pemandangan yang membuat dia yakin malam sudah sangat larut. Menuju dini hari mungkin.

Akan tetapi, yang dipikirkannya tidak sesederhana itu. Pemandangan di sekitarnya menjadi bukti bahwa dunia telah pulih dari virus flare. Sebuah perubahan dramatis tentu bukan hasil satu atau dua tahun. Butuh belasan, bahkan mungkin puluhan tahun untuk memperbaiki semua kerusakan yang disebabkan virus flare, serta meningkatkan populasi umat manusia.

Rentang waktu yang dilompatinya karena dilatasi waktu itu sepertinya sangat panjang. Hal itu sontak membuat pikirannya lari ka Safe Haven. Orang-orang yang ditinggalkannya, dia tidak tahu apakah mereka masih ada. Apakah dia masih berada satu masa dengan mereka? Sebuah kemungkinan terburuk yang dimilikinya membuat dadanya sesak. Brenda. Ada kemungkinan dia kehilangan waktu untuk kembali kepada gadisnya. Dan, tidak ada yang dapat dilakukkannya untuk mengubah keadaan.

Piuh. Thomas menghela napas. Entah sudah berapa lama dia berjalan. Kakinya terasa pegal. Namun, bukan itu yang membuatnya berhenti. Rel kereta melintang di depannya, tak lama lagi akan dilintasi. Kepala kereta sudah terlihat di sebelah kanannya. Saat itulah, saat dia menoleh, dia mendapati sesuatu yang salah. Matanya memicing demi menambah fokus pandangannya.

Seorang perempuan berdiri di rel, menghadap kereta dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera menjauh. Sebelum dia memproses yang dilihatnya, kedua kakinya sudah merespons dengan membawanya berlari kencang. Dia merenggut bahu perempuan itu, lantas dengan gerakan yang sangat cepat, dia membawa serta perempuan itu menjauh dari rel hingga tubuh mereka terhempas, lalu mendarat di permukaan berkeriki.

The Death DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang