Tekanan

518 119 50
                                    

♥♥

Diawal bekerja, Rae Na selalu ceria. Menjadi pribadi yang apa adanya seperti biasa. Selalu sapa para pegawai saat berpapasan.

"Selamat pagi!"

"Hai, kak!"

Atau sapaan ramah lainnya. Banyak pegawai senang dengan sikap ramahnya. Tapi, ada juga yang tidak peduli sama sekali.

Pekerjaan Rae Na di awal memang tidak langsung banyak. Dia jadi bingung sendiri mau melakukan apa. Karena belum terbiasa, juga masih takut salah. Seperti yang orang tahu, praktik tidak selalu sama dengan teori. Itu yang dialaminya kala itu.

Rae Na memang kadang tidak sengaja bertingkah kekanak-kanakannya. Hal itu, disadari oleh salah satu dari mereka.

Waktu itu, Rae Na baru saja selesai dari mengantar berkas. Saat melewati koridor, dia lihat salah satu senior perempuan menatapnya. Dia yang tadinya ceria, penuh senyum, seketika menciut. Tatapan orang itu seolah mengintimidasinya.

Memilih abai. Lalu, melanjutkan jalannya begitu saja. Namun, langkahnya dihentikan.

"Tunggu!"

Reflek, berhenti. Berusaha menatapnya meski takut-takut.

"Kalau kerja di sini yang cekatan. Apa yang bisa dikerjain, dilakuin. Kalo teman ada yang belum selesai pekerjaan, dibantu" begitu sarannya. Tapi, nadanya seperti meremehkan, penuh sindiran. "Jangan kekanakan. Kamu sudah bekerja, bukan lagi anak SMA. Sudah gak pantes tingkahmu begitu. Atau kamu gak akan betah kerja di sini"

Telak tersindir dan direndahkan. Orang ini, memang sedari awal tampak tidak menyukainya. Tapi, Rae Na abai. Dia di sini mau bekerja, bukan urusi para pembencinya. Tapi, tidak sangka orang ini akan bicara begitu.

"Makasih, kak, sarannya"

"Bukan saran, ini peringatan. Banyak yang gak betah di sini karena gak kompeten, gak cekatan, dan bertingkah bayi"

Sejak hari itu, Rae Na jadi tertekan. Dia berpikir, apa dirinya sebegitu masih kekanak-kanakannya? Apa dia begitu tidak bisa diandalkan? Apa dia tidak bisa kompeten? Dia harus cekatan yang bagaimana?

"Itu bantuin! Kenapa malah diem aja!"

Orang yang sama, di hari berikutnya. Dari nada bicaranya, orang itu sangat geram padanya. Dia bingung, harus bantu yang bagaimana? Pekerjaan itu bukan kuasanya.

"I-iya, kak" baru dua langkah Rae Na berjalan. Dia dengar gerutuan seniornya.

"Dibilang yang cekatan. Malah kayak siput. Dasar anak TK"

Sudah hampir menangis kala itu. Jika saja, kakak tingkat tidak memanggilnya. Mungkin jika bukan karena kakak tingkatnya ini, dia sudah keluar. Tidak tahan selalu diremehkan begini.

"Gimana? Betah, kan kerja di sini?"

Tersenyum menanggapi. "Betah, kak"

Bohong. Dia tidak mau mengecewakan kakak tingkatnya ini. Sekaligus, ayah bunda juga, pacarnya. Jadi, dia tetap bertahan di bawah tekanan.

Hampir dua bulan. Waktu itu, Rae Na diminta bunda untuk tidak pulang. Karena, ayah bunda mau datang berkunjung. Mau lihat seperti apa tempat tinggal anaknya. Mau memastikan, anaknya dapat tempat yang nyaman dan layak. Karena, anak itu tidak jadi menyewa apartemen. Terlalu luas katanya.

"Ayah bunda pulang, ya? Hati-hati di sini, jaga diri" begitu pesan bunda di tempat mobilnya terparkir. Lalu, bunda peluk sayang.

Selanjutnya, Rae Na peluk ayah. "Ayah~"

Ayah balas peluk sambil usap-usap rambut anaknya. Rae Na jadi terharu. Mau menangis rasanya.

Seperginya ayah bunda, Rae Na kembali dengan wajah tertunduk sedih. Sampai langkahnya berhenti ketika ada suara mengagetkannya.

"Orang tuamu?" Bertanya sinis.

Mendongak. Dilihatnya, senior yang selalu meremehkannya itu bersandar dinding belokan koridor sambil melipat tangan di dada. Congkak sekali gayanya.

Sial memang. Selain satu tempat kerja dengan orang ini, dia juga satu tempat tinggal. Rae Na ingin mengutuk keadaan rasanya. Tapi, tidak bisa.

Kalau diingat, kakak senior ini juga pernah bertanya dengan gaya yang sama ketika dulu pertama kali tahu dia diantar jemput pacar.

"Pacarmu?"

"Iya, kak"

"Kelihatannya, kamu anak manja, ya?"

Diam. Ingin segera pergi. Tapi, langkahnya masih tertahan.

"Kalo di sini, kamu harus mandiri, dewasa. Ingat, kamu cuma sendiri di sini" begitu lanjutnya.

Mandiri, dewasa, gak boleh kekanakan, harus cekatan. Kata-kata itu tersusun apik di hati dan memorinya. Membuatnya jadi bingung harus bagaimana. Haruskah, dia merubah diri?

"Pernah, kamu lihat anak-anak di sini dijenguk orang tua? Gak, kan? Kasian mereka, kalo liat kamu dimanja gitu. Kebanyakan yang tinggal di sini dari orang yang kurang. Jadi, tolong sesuaikan diri"

Rae Na mengerti maksud ucapan kakak ini. Tapi, dia tidak mengerti, kenapa bicara begitu padanya. Lebih tidak mengerti, kenapa harus dengan cara kasar? Kenapa tidak dengan cara yang lebih ramah?

"Kalo halaman kotor, ya, di sapu. Kalo sampah numpuk, ya, di buang. Kita gantian begitu di sini"

"Iya, kak"

Setelahnya, orang itu pergi begitu saja dengan tangan yang masih terlipat di dada.

Tangis si mungil pecah ketika sampai di kamar. Semakin miris ketika ingat, dia belajar psikologi. Pekerjaannya berhubungan dengan mental. Tapi, justru dia yang terkena tekanan mental.




Sudah jadi kebiasaan rutin kalau si mungil selalu diantar jemput ayah atau pacar. Hampir semua para penghuni kamar sewa tahu itu. Mereka sampai hafal. Membuatnya jadi kembali dapat wejangan.

"Itu, loh. Coba belajar mobil atau motor sama anak sini kalo gak pulang. Biar gak ngerepotin ayahmu atau pacarmu terus. Kalo udah bisa, nanti bisa pulang pergi sendiri"

Tambah lagi, ngerepotin, katanya. Sebenarnya, dia ini anak seperti apa? Ternyata, dia seburuk itu di mata orang-orang. Selain ayah atau pacarnya.

Hingga saat terparah. Waktu itu, Rae Na sempat melakukan kesalahan di lima bulan bekerja di sana. Orang itu, membentaknya keras di hadapan pegawai lain. Bahkan, di hadapan kakak tingkat yang mengajaknya bekerja.

"UDAH DIBILANGIN BERAPA KALI, HAH?! MAKANYA, BISA GAK, SIH, KAMU DEWASA, CEKATAN. KALO BISA KERJAIN SENDIRI ITU, KERJAIN SENDIRI. JANGAN MANJA. SIAPA KAMU?! ANAK BARU GAK TAU DIRI! YANG MANDIRI JADI ORANG. JANGAN NGEREPOTIN TERUS! KALO GAK BETAH DI SINI, KELUAR SANA! KERJA DI TEMPAT YANG ENAK!"

Tidak bisa berkata, tidak bisa membalas, tidak bisa menangis. Air matanya hanya tertahan di pelupuk. Rae Na tidak mau menunjukkan tangisnya di hadapan orang itu. Atau dia hanya semakin dijadikan bulan-bulanan. Yang dia lakukan hanya menatap kemarahan seniornya itu sambil meremat tangan di sisi tubuh.

Dari sana, si mungil bertekad untuk berubah. Tidak ingin selalu diremehkan. Walaupun kenyataannya, hatinya tertekan. Tapi, dia harus bertahan.

Belajar dewasa, mandiri, gak manja, gak kekanakan, gak ngerepotin, harus cekatan.

Kata itu, ditulis dengan baik di buku diarynya.

Makanya sampai sekarang, Rae Na masih sering menangis diam-diam kalau ingat masa itu. Masa yang tidak bisa dia ceritakan pada siapapun, termasuk Yoongi, pacarnya sendiri.

~♥~

Clear, ya. Knp Raena jd berubah. Terkadang, tempat kerja sejahat itu. Pengprip gaes 😂😂

Ya, gak segitunya sih kalo aku. Cuma, ya diremehkan, direndahkan, disindir, itu pernah. Asli aku tekanan batin. Pada akhirnya, risain deh. Gak kuat akunya.

Jgn ikutin jejakku yang punya mental sabun colek ya. Letoy banget. 😂😂

Unbelivable part 2 dah up. Ayo ramaikan.

Kebetulan sekali lg semangat dan ada waktu. setelah ini gak tau deh. Hehe

Lavyu

Ryeozka

Your Boyfriend, His Girlfriend / ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang