24. Suka Sendiri

120 96 137
                                    

"Lin?"

"Apa?" Alin mengangkat kepalanya, ia membiarkan sendoknya terpegang begitu saja, tidak jadi menyendok bubur. "Rambut lo kemakan." Alin memegang rambut panjang Aira supaya tidak jatuh ke mangkuk.

"Ikatannya ilang."

"Di gue." Alin memperlihatkan pergelangan tangan kirinya, sebuah ikat rambut warna putih melingkar di sana.

"Iketin." Aira duduk membelakangi Alin, membiarkan cowok itu mengikat rambutnya meskipun tidak rapi. "Makasih," katanya setelah ikatan rambutnya selesai.

"Lin?"

"Apeee?!" Alin kesal, setiap ia akan menyuap, Aira selalu memanggilnya.

"Gue pelakor."

"Hah?" Alin menoleh, ia menatap Aira yang hanya mengucek-ngucek buburnya. "Jijik anjir, mirip muntahan. Jangan dikucek teros." Cowok itu mengangkat alisnya. "Pelakor apa sih lo?"

"Gue, Jangan-jangan suka sama cowok orang?"

Alin mengangkat bahunya, ia menyendok bubur lalu menyuapkannya, cowok itu mengunyah secara perlahan. "Nggak tau, emang lo nggak tau Haris udah punya pacar atau belum? Lagi pula, suka sama cowok orang itu wajar menurut gue, asal jangan lo rebut aja."

"Mana gue tau Haris udah punya pacar atau belum. Gue nggak niat jadi pelakor. Lin?"

"Apa?" Alin menoleh pada Aira, cewek yang beberapa hari ini kehilangan semangat hidup. "Bisa nggak sih, lo nggak manggil-manggil gue melulu, kalo ngomong tuh langsung ngomong."

"Iya." Aira berdecak, ia mencolek bubur menggunakan kerupuk. "Gue yang baperan, atau Haris yang keterlaluan?"

Alin diam.

"Eh, kampret! Jawab!"

"Buseeet dah, gue juga perlu mikir." Alin mengambil air minum, cowok itu meneguknya. "Gini ya, Ra—" Alin berdeham sambil menaruh gelas, lalu menghadapkan duduknya pada Aira, cowok itu menghadap Aira sambil melipat tangan di depan dada, yang Aira yakini bahwa pose itu adalah pose songong seorang Lintang. "Cewek diperlakuin kaya gitu tuh wajar baper, apalagi lo udah suka sama Haris selama satu taun, Haris yang tiba-tiba ngajak lo ngobrol, chat, telepon, ngajak makan, atau ngajak lo nonton. Semua itu kaya ngasih harapan sama lo."

"Iya."

"Juga, lo pantes berharap. Tapi, posisinya, Haris emang tau lo suka sama dia? Semua bakalan mudah, kalo Haris tau lo suka sama dia, dan dia suka balik ke lo. Kemungkinan Haris nganggap lo temen, kan?"

"Nggak, dia nggak tau gue suka dia. Dan dia nggak bakalan suka gue. Hng—iya, temen."

"Nah!" Alin menjentikkan jarinya. "Ini yang ngebuat semuanya rumit, soalnya lo cuma suka sendirian, istilahnya, kalo kata Dilan, rindu sendiri. Eh, kalo di lo, cocoknya suka sendiri."

'Bener juga.'

"Lo pernah mikir, mungkin gaya temenan Haris sama temen ceweknya emang gitu. Dia deket sama cewek lain nggak?"

'Anjir banget kalo Haris sama semua cewek kaya gitu.'

"Mana gue tau." Aira mengacak-acak rambutnya. "Aelah! Gue harus gimana?! Seharusnya gue tuh nggak pake perasaan pas Haris interaksi sama gue! Bego!"

Alin ngakak. "Nggak pake perasaan apa, Juminten? Yang setaun itu apa? Hutang? Dosa? Atau yang paling bagus, yang setaun tuh duit tabungan, bukan perasaan lo."

"Sinting!" Aira mencubit Alin, cewek itu jadi tambah galau. Bayangkan saja, setelah memendam perasaan satu tahun dan dekat dengan gebetan sampai ada harapan, akhirnya si cowok ada cewek lain. Ingin jerit-jerit saja Aira sambil menabuh gamelan. "Menurut lo—"

Antitesis (X) | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang