"Mama kok bikin jus?" Aira meletakan sekantung belanjaan dari indomaret di meja makan, ia memutari meja makan dan berdiri di samping Mama yang menuangkan jus pada gelas.
"Oh, ini buat Alin."
Aira keselek. "Dih, ngapain Alin dikasih jamuan. Dia tuh kalo udah di sini kaya di rumah sendiri."
"Heh!" Lengan Aira ditepuk, cewek itu cemberut. "Gini-gini juga tamu."
Mama mengambil nampan dan menempatkan dua gelas jus serta teko kaca yang berisi jus jeruk penuh ke nampan. "Sana suguhin, Mama nyusun dulu barang belanjaan."
"Harusnya juga Bang Terry yang belanja, malah masih tidor."
"Jangan itungan!"
Aira menggerutu sambil berjalan menuju ruang tengah. Cewek itu berdecak saat melihat Terry dan Alin tengah bermain play station.
"Pantesan lupa dunia!"
"Anjir! Jangan tembak punya gue!"
"Lo juga tadi gitu, Bang!"
"Silakan diminum, wahai orang-orang tak tahu malu!" Aira menaruh gelas di meja yang ada di samping Terry, pasti cowok itu sengaja menggesernya.
"Makasih, Sayang."
"Makasih, Lampir."
Aira melipat tangannya di depan dada, mengamati kedua orang yang tampak anteng seanteng-antengnya. Sepertinya, ia tidak berguna berada di sini, jadi Aira memutuskan naik ke lantai dua.
Ke tempat keramat. Kamar tersayang.
Aira membuka pintu kamar, cewek itu berjalan ke meja belajar, dan ia panik.
"Kok nggak ada?" Aira menggigit bibirnya, menuju pintu, dan keluar. Ia terburu-buru menuruni tangga. "Abang? Bang Terry mana?"
Alin mengangkat alisnya sambil menyeruput mie bakso. Cowok itu mengunyah dengan pelan, sengaja. Biar Aira kesal.
"Alin!"
Alin menyeringai, ia menelan makanannya. "Mau apa?"
"Mana dulu Abang?"
"Angkat telepon ke halaman."
Aira berlalu meninggalkan Alin yang fokus pada televisi di depannya. Cowok itu duduk di karpet dengan meja rendah dan ada semangkuk bakso di hadapannya, mantap, kan? Apalagi sore-sore pukul 16:30.
Aira kembali, cewek itu menghempaskan dirinya di sebelah Alin dengan wajah cemberut.
"Plis, jangan bikin bakso gue pait karena ekspresi lo." Alin menusuk bakso dengan garpu, ia memakannya.
"Gue kesel!" Aira melipat tangannya di depan dada lalu bersandar pada bagian bawah sofa.
"Ngapa dah?" Kini, Alin menyendok kuah baksonya.
Mata Aira memicing melihat televisi. Nonton televisi malah makin gondok. "Uang gue hilang, yang di meja belajar. Kata Abang, dia nggak ngambil. Mana lagi teleponan, jadi jawabnya nyebelin."
"Oh, gue yang ambil."
"Hah?!"
"Uhuk!" Alin keselek bakso kecil, cowok itu menunjuk-nunjuk jus di sebelahnya, meski menggerutu Aira menyerahkannya. Alin menoleh, tatapannya setajam silet namun tatapan Aira juga malah setajam pedang. "Lo! Kalo gue mati keselek bakso gimana?!"
"Sukurin! Lo makan pake uang haram! Mana itu uang dari Haris!"
"Hah?! Lo ngapain sama Haris sampe dikasih uang?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Antitesis (X) | Hwang Hyunjin
Teen Fiction"Gue kegantengan ya? Soalnya kalo ketemu lo selalu ilang fokus."-Haris Pranata Arkana. Haris Pranata Arkana, namanya. Cowok bermata sipit, berhidung mancung, berkulit putih, berselera humor rendah, punya banyak teman, dan memiliki mantan seorang se...