19. Satnight

140 118 217
                                    

"Kemarin tetangga gue ada yang meninggal."

Febrian keselek cilok, cowok itu mengambil minum di meja dan langsung meneguknya. "Inalilahi, semoga ditempatkan di sisi-Nya. Aamiin."

Semua mengangguk, mereka mengabaikan semangkuk bakso, cilok, gorengan, dan mie ayam.

"Kenapa Chan? Sakit apa? Jangan bilang masih muda? Ngeri gue, banyak yang meninggal seusia kita."

Chandra menatap Zidan, cowok itu menunduk untuk makan kuah mie ayam. "Gara-gara dia bohong, katanya nggak punya pacar, taunya jalan di koridor berdua."

Semua diam, tidak lama kemudian, kepala Haris, Rendy, Nathan, Zidan, dan Febrian menoleh pada Jean yang akan menyuapkan kuah bakso.

Jean mengangkat alisnya, agak merinding takut disangka maho oleh semua orang di kantin. "Apa anjir?!"

Chandra menepuk dahinya. "Setan lu semua! Bukan Jean tapi—" Telunjuk Chandra menunjuk Haris. "Dia!"

Haris mengerjap, pandangannya beralih pada Chandra, telunjuknya terangkat sambil berkedip, bibir cowok itu membulat. "Gu...e?"

Secara dramatis, kepala Rendy, Zidan, Nathan, Febrian, dan Jean memandang Haris.

Haris berkedip. "Kok gue?!"

Chandra mengangkat bahunya. "Iya, emang lu, Ceh."

Nathan menepuk bahu Zidan, ia menyendok bakso kecil, menepuk bahu Zidan dan mengkode agar cowok itu buka mulut, setelahnya Nathan menyuapkannya pada Zidan sambil menepuk-nepuk bahu cowok itu. "Gue nyimak ah. Kalo bagian kompor-kompor baru gue nyeludup."

Zidan mengangguk sambil mengunyah bakso yang disuapkan Nathan. "Iya, gue juga, entar langsung gerebek. Anjir!"

Haris sensi. "Apaan sih? Mentang-mentang—"

"Iya, mentang-mentang lo yang masih pasang foto mantan di meja belajar, jadi ya, sasarannya lo." Mulut pedas level lima belas milik Rendy Ardagan, mulai menyerang.

Haris mendelik. "Gua copot dah! Gue bakalan copot tuh foto."

"Nyenyenyenyenye."

"Anjir lu!" Jean mendorong bahu Febrian, kemudian cowok itu ngakak. "Bagus!"

"Aira-Aira itu bukan?"

Chandra mengangkat bahunya sambil menatap Nathan. "Nggak tau, gue nggak kenal siapa Aira. Pokoknya kalo nggak salah, tas ceweknya warna biru tua deh. Kelas IPS juga kayanya. Nggak mungkin kelas IPA, soalnya jalan ke kelas kita."

Mulut Nathan membulat, cowok itu menusuk bakso menggunakan garpu, ia menunjuk garpu pada Chandra. "Sabilah, kalo anak IPS gue berani, kalo anak IPA! Beuh, baru nginjek terasnya aja, aura-aura perang udah terasa."

"Terus?" Febrian mengangkat alisnya. "Lo liat wajah ceweknya?"

"Kagaklah anjir! Tapi gue liat dari belakang! Haris sampai gini!" Chandra memiringkan duduknya menghadap Rendy, ia menepuk kepala Rendy sambil tersenyum hangat. "HARIS SAMPE GINI!"

"Anjir, kalo mau gosipin gue! Plis, di belakang gue aja!" Tidak ada yang memedulikan Haris, sebab drama dadakan Chandra lebih menarik perhatian.

Nathan geregetan, ia mempraktikkannya pada Jean yang kebetulan ada di sampingnya. Tangannya Nathan taruh di kepala Jean,  matanya dengan lembut menatap mata sipit Jean, senyum tipis terukir di bibirnya. "Sayang, kamu udah berusaha keras."

Jean merinding, menepis tangan Nathan dan bergeser sampai menggencet tubuh kecil Rendy. "Anjing! Udah nggak waras lu!"

Haris ngakak. Ia mendorong-dorong bahu Zidan. "A-anjir, anjir."

Antitesis (X) | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang