55. Snack

35 7 2
                                    

Haris melepaskan helmnya, cowok itu sempat mengacak rambutnya dan bercermin di kaca spion. Ia menarik senyum tipis. "Masih ganteng, meskipun udah setengah sembilan malem."

Ia turun dari motor sambil meraih kresek alfamart yang digantung di depan. Cowok itu merogoh saku celana, mencari kontak guna menghubungi seseorang. "Halo? Aku udah di dep—" Haris tertawa. "Nggak papa, sini keluar. Nggak papa keluar malem—"

"Kirain aku kamu bakalan pulang habis isya."

Haris menoleh, ia menurunkan ponselnya. Matanya melotot. "Jangan lari! Itu kamu hampir kesandung kaki sendiri."

Aira malah tertawa, ia menghampiri Haris di depan gerbang. Cewek itu membuka pagar sepinggangnya. Senyumnya kini luntur. "Kan, kata aku apa, kalo malem jangan ke sini langsung pulang aj—"

"Inikan juga habis isya."

"I-iya sih. Tapi—tetep aja udah hampir malem!"

Cowok itu malah tertawa, ia memberikan barang bawaannya. "Nih, dimakan."

Dengan alis berkerut, Aira mengambil kresek alfamart yang disodorkan Haris. Ia menunduk guna melihat apa isinya. Mata Aira melotot sambil mendongak menatap Haris. "Banyak banget?!"

"Santai atuh," katanya enteng. Padahal Aira sudah menyiapkan omelannya di depan mulut. "Biar kenyang. Biar tambah tinggi."

"Malah ngeledek!"

Haris ngakak. Ia mengacak rambut Aira dan mencubit pipi cewek itu. "Jangan lucu-lucu. Kamu nggak bisa aku bawa pulang."

"Siapa juga yang mau dibawa pulang sama kamu? Ew."

Bukannya marah, Haris malah ngakak sambil bertepuk tangan. Aira jadi ngeri, takut Juminten si penunggu pohon nangka di pos roda menghampiri ke sini.

"Udah, udah. Serem tau, malem-malem begini kamu malah ngakak."

Haris menggeleng. Ia menyeka air matanya. "K-kamu lucu."

Risiko berbicara dengan orang berselera humor rendah, yaitu sulit serius.

"Haris, Haris. Aku penasaran sama satu hal. Boleh tanya nggak?"

"B-boleh," katanya sambil berusaha menetralkan tawanya. Cowok itu duduk pada jok motornya dengan tatapan lurus pada Aira dan kedua tangannya yang berada di saku jaket. "Mau tanya apa?"

"Kamu ... kenapa mau dinamain Hasna?"

Mata Haris membulat. Cowok itu menatap Aira yang menahan tawanya. "Jangan tanya itu deh!"

Aira tertawa. "Aku terlanjur kepo. Apa sih cerita di baliknya?"

"Jangan pengen tau!" tiba-tiba, pipi kiri cowok itu menggembung dan Aira tertawa.

"Kamu ternyata pipinya gede juga hahaha!"

"Nggak, rahang tegas begin—Raaa!" Haris melotot sebab Aira mencubit pipinya.

"Gemes banget! Ternyata pipi kamu lembut. Hasna, Hasna."

Haris melotot. "Kok Hasna?!"

"Nama terdahulu kamu." Cewek itu ngakak sambil memegang lengan Haris, supaya tidak terjengkang ke depan. "Pantes kamu sering ngeledekin aku, ternyata seru juga ya."

Haris memutar bola matanya. Namun, cowok itu tersenyum. Aira tertawa. Padahal, Aira belakangan ini selalu murung. "Oke, aku ceritain, tapi kamu jangan ketawa terus."

"Si-siap." Tubuhnya menegak menatap Haris. Aira sempat membeku saat tangan Haris terulur ke pipinya guna untuk menyeka air mata di sana.

"Waktu itu, aku disangka cewek—"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Antitesis (X) | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang