50. Sorry I Love You

31 11 1
                                    

Sepertinya, Alin akan menyebut hari ini sebagai hari tersial dalam hidupnya. Haruskah Alin menyalahkan Mama yang menyuruhnya mengantarkan oleh-oleh dari Papa ke rumah Aira?

Ataukah, Alin harus menyalahkan Terry yang mengajaknya mengobrol sebentar menanyakan dirinya yang tidak pernah main lagi?

Atau, opsi terakhir. Haruskah Alin menyalahkan Bian yang tiba-tiba mengechatnya menanyakan kenapa warung soto di dekat sekolah tutup?

Karena ... chat Bian ini. Alin jadi fokus pada ponselnya tanpa melihat ke depan. Alias ke gerbang rumah Aira. Sehingga Alin tidak menyadari, bahwa yang punya rumah sudah sampai di depan gerbang. Namun, jika saja Mama tidak menyuruhnya, Alin tidak akan ke rumah Aira. Terry, jika Alin tidak mengobrol dengan Terry dan pergi lebih awal, Alin juga tidak akan bertemu Aira.

Lalu, siapa yang salah jika sudah begini?

Sepuluh hari, bukan waktu yang sedikit untuk Alin memikirkan apa ia harus mengatakannya atau tidak dan ternyata, cowok itu memilih mengatakannya.

"Gue ... suka sama lo."

Satu kalimat, empat kata, dan sangat berat juga berarti bagi Alin maupun Aira.

Cowok itu menatap Aira, memusatkan perhatiannya pada cewek yang lebih pendek darinya. Angin dingin jam lima sore mengembus pelan. Menerbangkan rambut panjang Aira juga rambut pendek Alin. Langit yang berwarna jingga, seakan menjadi tanda, bahwa hari ini, Alin tidak tahu apa yang akan terjadi.

Mata Aira membulat, cewek itu menatapnya tanpa berkedip.

Alin pun sama, mereka bertatapan.

Jika Aira sedang mencoba melihat apakah Alin bercanda atau tidak. Lain dengan Alin, yang tatapannya berusaha meyakinkan Aira bahwa dirinya ... bersungguh-sungguh.

"L-Lin—"

"Iya, Ra. Gue suka sama lo."

Aira pusing, tiba-tiba pikirannya penuh. Dadanya juga terasa sesak. Angin dingin yang berembus menyentuh kulitnya, tidak ikut membuat hati Aira terasa dingin. Cewek itu ... tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Alin menatap Aira, ia tidak mengalihkan pandangannya. "Gue yakin, lo pasti ngerti."

Aira diam.

"Lin—"

"Sorry, buat lo kaget." Alin mengembuskan napasnya. "Sorry, karna gue suka lo. Gue pergi, Ra."

Tempat Aira meratapi kegalauannya, yaitu di kamar. Cewek itu sedang berbaring miring menghadap jendela, dengan pikiran menerawang dan dada yang sesak, Aira memandang pemandangan malam di sana. Tidak, Aira bahkan tidak benar-benar menikmati pemandangan. Karena cewek itu sedang dilanda keresahan.

"Gue ... suka sama lo."

Suara Alin tiba-tiba terdengar.

Setelah sepuluh hari tidak bertemu dan itu berita yang dikatakan Alin.

Aira meneguk ludahnya. "Gimana dong," gumamnya, "gue harus apa?"

Embusan napas berat Aira keluarkan. Pikirannya melayang. Sejak kapan Alin menaruh perasaan padanya? Apakah Aira jahat, karena selalu menceritakan Haris pada Alin?

"Alin, maaf," katanya dengan suara serak. Tidak pernah Aira seresah ini selama hidup. "Gue nggak tau kalo lo—Lin, ya ampun. Gue harus gimana?"

Aira menghela napas, matanya memanas. Perasaan bersalah dan tidak enak hadir di hatinya. "Gimana coba, Alin bisa suka sama gue? Lin, maaf."

Antitesis (X) | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang