10. Alfamart

178 156 172
                                    

"Lin, yang ini gimana?"

Alin tampak malas, cowok itu melirik pada Aira. Tiga detik kemudian ia terlentang, menggeliat, dan kembali tengkurap. "Nggak tau, mata gue lagi flu."

"Gue sumpahin mata lo ingusan!" Aira menepuk-nepuk punggung Alin dengan keras, sebab cowok itu tengkurap tepat di samping Aira yang kini duduk menghadap meja rendah di ruang keluarga rumah Aira.

Alin mendudukkan dirinya saat tabokan Aira makin keras. "Punggung gue lecet dikit aja, lo bakal gue iket di pohon nangka!"

Aira nyengir. "Makanya bantuin, nguap teros. Taunya tuh gigi lo dipenuhin laler."

"Nggak gratis, gue lagi nggak buka jasa ngitung-ngitung, apalagi ekonomi. Gue perlu mikir keras ya, bangsat."

"Lambemu! Lambemu!" Aira langsung membekap mulut Alin. "Emang anj—"

Alin balas membekap Aira. Ia melotot-lotot sebab tidak bisa bicara. "Lewpashin!"

"Lo duwlu!"

"Lawdies prest—Aira!" Alin mengibas-ngibas telapak tangannya yang digigit Aira. "Ini mah gue perlu cuci tangan di Mekkah!"

"Sana! Sekalian umrah! Siapa tau sifat lo yang kaya setan jadi super baik kaya malaikat!"

Mereka berdua bertatapan dengan sengit, Alin juga melupakan bahwa Aira wanita. Jika sudah perang mereka akan begini.

"Apa?!"

"Apa?!" Aira balas nyolot. Mata teralihkan pada ponselnya yang kedap-kedip. Ia mengambilnya lalu membuka sebuah chat, bibirnya ia gigit sehingga Alin yang ada di sampingnya penasaran ingin melihat.

Hana
|P
|Raaa
|Kok ekonomi susah banget ya
|Lo udah berapa nomor?
|Kalo udah bagi ya

"Bego! Harusnya chat yang kek gitu tuh nggak usah dibaca, nyusahin diri sendiri aja. Siniin handphone lo!" Dengan galaknya Alin merebut ponsel Aira.

Aira panik. "Lin! Siniin!"

"Nggak!" Alin melotot, mata bulatnya hampir saja keluar. "Enak aja si Naha—"

"Namanya Hana!"

"Serah gue!" Alin mengantongi ponsel Aira. "Gue kerjain tapi jangan lo liatin ke si Naha? Deal?"

Aira diam, ia memang tidak enakkan dan tidak pandai berbohong. Paket komplit sekali bagi orang yang sering ditindas. "Ta-tap—"

"Alesan apa kek, kuota lo abis. Wifi rumah lo mati. Mau ikut ke rumah gue lo bilang lagi berantem, gitu aja susah!"

Aira mendelik. "Ya jangan bentak juga kali!" Cewek itu jadi kesal.

Alin jadi agak merasa bersalah.  "Sorry, lo sih. Makanya jangan—"

"Oke, lo kerjain dan nggak akan gue liatin ke Hana." Aira tidak mau mendengar ceramah Alin yang seperti rumus persegi panjang, panjang kali lebar, pusing. Ujung-ujungnya nanti marah-marah dan mereka bertengkar.

"Ih! jelek bangeeet!" Alin menarik pipi Aira, cowok itu juga mengunyelnya. "Nah! Lo harus beliin gue snack!"

Aira menepis tangan Alin. "Duitnya dari lo?"

"Kampret!"

"Bun? Serius? Aku nggak bawa uang banyak. Masa harus nunggu Bang Esa, aku cuma bawa sepuluh ribu buat beli minum doang. Bunda malah nyuruh beli sabun sama minyak gor—nggak Bun, aku nggak keberatan."

Antitesis (X) | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang