35. Hilang

38 13 48
                                    

"Iya bangsat! Gue disuruh jemput Aira!" Chandra melotot, ia berbisik pada teman-temannya yang kini duduk melingkar di bangku kelas.

"Terus-terus?" Nathan memajukan kursi yang didudukinya, cowok itu sangat kepo dengan permasalahan yang Chandra bahas. "Lho? Kapan sih anjir?"

Chandra menoleh. "Kemarin, gue juga kaget waktu lagi isi bensin, Haris telepon, katanya suruh datang ke warung di deket pohon besar. Ya gue otw aja, nggak tau ada apa. Terus nih sat—"

"Apeee?" Zidan melotot, ia merapatkan jaketnya.

Chandra mengangkat alisnya sambil melotot. "Di sana udah ada Haris, gue kira dia sendiri. Taunya dia malah bilang, suruh anterin Aira ke rumahnya. Gue bingung, Aira emangnya di mana, taunya Aira diumpetin di belakang si Receh. Gue kaget, loading beberapa detik sebelum gue paham, kalo Aira matanya merah, suaranya serak, dan kesimpulan yang gue ambil, mereka marahan."

Alis Rendy terangkat, ia menatap Chandra. "Marahan?"

"Hooh, Aira juga masih pake baju seragam, kayanya belum pulang ke rumah. Kalo Haris udah pake kemeja."

"Jadi—" Jean menatap selidik kawan-kawannya. "Mereka pacaran?"

Brak!

Semuanya kaget, apalagi Nathan yang menoleh dengan tidak santai pada Febrian. "Bisa pelan nggak?! Gue tuh kagetan!"

Febrian tidak peduli. "Itu yang mau gue tanyain! Mereka deket udah lama, kan?"

"Hooh sih," gumam Zidan.

"Kalo gue jadi Aira, gedek aja gue sama cowok yang gantung perasa—eh, bentar. Ini Aira suka Haris apa nggak?"

Perkataan Jean, membuat semua perhatian tertuju padanya.

"Halah, paling—"

"Hayooo—" Telunjuk Nathan mengarah pada Rendy. "Cemburu yang lo?!"

Rendy memutar bola matanya.

"Berisik elah." Zidan berdecak, ia memiringkan duduknya menghadap Chandra, cowok itu mencolek bahu Chandra. "Aira nggak bilang apa-apa selama di jalan? Dia nangis nggak?"

"Nggak, dia diem aja, udah turun, Aira ngajak gue masuk ke rumah, tapi gue tolak, abis itu dia bilang makasih, gue balik deh."

Febrian mengangguk. "Lo nggak nanya sama Har—"

"Gue kesiangan!"

Semuanya melotot, mereka kompak membeku dan saling melirik. Keenam cowok itu panik, sebab orang yang mereka gosipkan mendadak datang dari arah pintu sambil lari-lari. Bahkan, ada keringat di pelipis Haris.

"Anjing, lo bilang, dia nggak bakalan sekolah karna patah hati," bisik Nathan pada Chandra.

Chandra mendelik, ia balik berisik, "Mana gue tau, kan biasanya suka gitu."

Haris mengatur napasnya, ia menaruh tasnya di samping tas Febrian, sedangkan Febrian sendiri, merasa canggung akibat hampir saja kepergok ngegosip.

"Belum mulai belajar, kan?"

Jean menggeleng. "Belum. Lo beruntung, Pak Gambreng telat kayanya."

Haris mengembuskan napasnya, ia merasa lega. Punggungnya cowok itu sandarkan pada kursi, mencoba merilekskan tubuhnya. "Ngantuk gue."

"Nggak capek?" tanya Zidan.

"Capek."

"Gue juga nggak sempet mandi." Haris cengengesan.

Alis Nathan berkerut, ia mendekat pada Haris. "Masa sih?" Nathan mengendus bahu Haris. "Wangi gini."

"Iyalah, parfum gue semprotin banyak banget."

Antitesis (X) | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang