52. Damai

34 12 4
                                    

"Lo kan cewek yang katanya mirip sama yang sering nongkrong di pohon nangka?!"

Aira berkedip. "Lo ... siapa?"

Orang itu menepuk kepalanya. Ia mengulurkan tangannya. "Kenalin, Bian. Bian Arsalan. Temennya Lintang."

"Serius?!"

Bian mengangguk. "Lo ke sin—"

"Gue mau minta tolong, anterin ketemu Alin."

"H-hah?"

Aira mengangguk. Ia memandang Bian yang mengerutkan alisnya. Cewek itu membulatkan matanya, bibirnya tersenyum bahagia. "Tolong, tolong anterin gue ketemu Lintang. Lo temennya, kan? Please, tolongin."

Dalam diam, Bian meneguk ludahnya. Cowok itu merasa gugup. Sebab ia tahu permasalahan Alin dan Aira. Jika Bian membawa Aira pada Alin, apakah nyawanya akan aman? Bola mata cowok itu memutar, menghindari tatapan berbinar Aira padanya. "Hng, gue—"

"Tolongin gue. Dia nggak mau ketemu kalo di rumah. Pasti dia belum pulang, kan?"

"I-iya sih, tapi ...."

"Please."

"Oke! Gue anterin! Tapi, kalo gue ataupun lo kenapa-napa, jangan salahin gue."

Aira meneguk ludahnya.

"Dia di lapangan basket. Mau ke sana?"

"Iya." Aira mengangguk. Cewek itu merogoh saku roknya. Ia harus menghubungi Haris.

Aira
Aku harus|
Ke lapangan basket|
Nggak papa, kan?|

Hrs
|Iya, nggak papa
|Aku tungguin

Aira berbalik, ia menatap Haris yang berada di seberang indomaret. Cowok itu mengangguk dengan senyum manis di bibirnya, yang tentu saja dibalas hal yang sama oleh Aira.

"Woy!"

"Iya-iya. Ayo, berangkat."

Setelahnya, Bian berbalik diikuti Aira. Lapangan parkir yang masih ramai, membuat Bian maupun Aira mendapat perhatian dari murid-murid di sana. Apalagi ini hari Kamis, semua murid di sana mengenakan batik SMA swasta, sedangkan Aira mengenakan batiknya miliknya.

Tiba-tiba, cewek itu menjadi gugup. Ia meneguk ludahnya.

"Kiw, pacar lo?"

Bian melotot. "Jaga mata lo." Ia menarik lengan Aira. "Maaf, cowoknya rata-rata brengsek. Lo lebih baik jalan deket gue."

"Makasih."

Sebagai jawabannya, Bian mengangguk. Mereka kembali berjalan ke lapangan basket. Yang Aira tebak, Bian akan mengantarnya ke lapangan basket indoor. Karena ia baru saja melewati lapangan basket outdoor.

"Lo ... benaran mau ketemu Lintang?"

"Iya. Gue mau. Emangnya kenapa?"

"Kalo nggak mau diganggu, dia bakalan nyeremin." Alis Bian berkerut, tetapi ia langsung tersenyum dan menoleh pada Aira. "Tapi, gue yakin. Dia nggak akan bisa marah sama lo."

"Kenap—"

"Ngapain lo balik lagi? Katanya mau jajan ke indomaret."

Deg.

Suara yang sangat Aira kenal.

"Gue—"

Alin mengalihkan pandangannya dari Bian. Ia menatap seseorang di samping Bian. Ekspresinya benar-benar sulit ditebak. Aira kecewa saat Alin lebih memilih menatap Bian. "Gue mau pulang, bolanya udah gue beresin kok. Dulu—"

Antitesis (X) | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang