38. Mendekat

32 13 3
                                    

"Gue kangen lo, Aira."

Mata Aira membulat, ia menatap Haris yang menatapnya lamat tanpa berkedip. Cewek itu memalingkan wajahnya dengan jantung yang berdetak cepat. 'Inget, Ra. Lo mau move on, inget!'

Jemari tangan Aira yang saling meremas tidak luput dari genggaman pandang Haris. Cowok itu tersenyum tipis. "Tapi kayanya, lo nggak kangen gue, ya?"

"..."

"Lo nggak mau ngejelasin kenapa lo jadi gini? Gue brengsek ya Ra? Gue banyak salah ya Ra?" mata Haris menyendu. "Ra ... kalo lo diem aja, gue nggak bakalan tau."

"Apa sih?"

Haris tersenyum mendengar suara jutek Aira. "Lo, jijik ya? Sama gue."

Mata Aira membulat. "Apaan—"

Haris tertawa, tawanya mengalun merdu di ruang tamu Aira.

"Haris, pulang."

"Kan flashdisknya belum dikasih."

'Aira bego!' Cewek itu melirik ke sana kemari, Aira juga mengutuk dirinya yang lupa membawa ponsel, sehingga tidak ada pengalihan perhatian. Mana Haris terus menatapnya. Sialan sekali.

"MAMA! UDAH BELUM?!"

Haris berkedip, cowok itu kaget karena Aira berteriak.

"Belum! Jangan malu-maluin!"

Aira cemberut dan Haris merasa gemas.

"Ra?"

"Nggak denger."

Haris menghela napas. "Lo, masih nggak mau ngejelasin apa salah gue?"

"Haris, kita kaya dulu lagi aja, ya? Nggak saling kenal—" Aira meneguk ludahnya. "Nggak saling tau satu sama lain."

Haris mengeraskan rahangnya. "Apa maksud lo?"

Jantung Aira berdetak dua kali lebih cepat, cewek itu menunduk lalu meremas tangannya. "Gue—"

"Kalo ada masalah sama gue, bicarain, Ra. Kalo gue salah, lo harusnya kasih tau, biar gue nggak ngulangin kesalahan yang sama."

Aira diam, matanya memanas. Ia berniat move on dan menjauh dari Haris. Namun, cowok itu malah terus mendekat.

"Awalnya kita juga nggak deket, kita asing."

Haris menghela napas, jika bukan di rumah Aira, cowok itu berniat mengacak rambutnya sampai berantakan. "Nggak, gue nggak bakalan jauhin lo."

Kepala Aira terangkat. "Haris—"

"Diminum ya, maaf lama. Tadi Tante ngedadak buat jus, sirupnya abis." Mama menaruh nampan beserta tiga gelas jus mangga, senyum simpul tertarik di bibirnya. "Haris mau makan dulu?"

Haris tersenyum, ia menggeleng. "Nggak, makasih, Tante. Flashdisknya lagi ditungguin Abang soalnya."

Mama tersenyum. Aduh, jika melihat orang tampan, memang tidak bisa berhenti tersenyum. "Tante tinggal dulu, ya?" Mama menoleh pada Aira. "Temenin! Awas kalo ke mana-mana."

Aira mengangguk. Mama tidak tahu saja, bahwa Aira ingin menghilang detik ini juga. Setelahnya, Mama pamit ke dapur, meninggalkan Aira yang merasa sangat ingin pergi dari ruang tamu.

"Ra—"

"Duh, sorry lama. Ketumpuk buku." Terry turun dari tangga, di tangan cowok itu terdapat flashdisk dengan gantungan hati. Ia langsung menyodorkannya pada Haris. "Sorry, ya, sorry."

Haris tersenyum, ia mengangguk. Tangannya terulur mengambil flashdisk. "Nggak papa, makasih, Bang. Maaf ngerepotin."

"Eh, santuy. Gue yang harusnya minta maaf." Terry duduk di samping Aira, cowok itu langsung meminum jus mangga. "Maaf ngerepotin, lo sampai harus ambil ke sini. Emang Esa ke mana?" tanyanya setelah menyimpan gelas di meja.

Antitesis (X) | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang