29. Alasan

86 58 71
                                    

Minggu, seharusnya jadi hari yang menyenangkan dan menenangkan. Cocok untuk rebahan sepanjang hari ditemani cemilan dan siaran neflix. Iya, seharusnya begitu. Namun, ternyata hari Minggu yang cerah ini Haris malah berada di halaman belakang, bersama Ayah, Mahesa, dan Yasa.

Mencuci motor, menggunting rumput, menyapu halaman, dan menyiram bunga milik Bunda.

Itulah kegiatan Haris.

"Haris, kamu kapan selesainya? Dari tadi bengong terus, begini-begini, Ayah juga perhatian, ya." Ayah menyuapkan bakwan di meja, lalu menyeruput kopi hitam. Ayah tidak merokok.

Haris mengerjap, ia kembali menggosok motornya menggunakan kanebo. "Iya, Yah." Cowok itu menoleh pada Ayah. "Begini-begini? Eh, iya, Ayah dari tadi cuma makan bakwan sama minum kopi."

Ayah melotot. Namun, matanya tetap saja sama. Haris yang melihatnya mencebikan bibirnya sambil kembali fokus pada si FU.

"Yasa, kamu juga, jangan lesu gitu, cuma nyapu."

"Cuma? Dari tadi Ayah cuma makan bakwan, nggak ikut nyapu halaman." Yasa cemberut, ia menggerakan sapunya untuk menyapu daun mangga yang sudah menguning di tanah.

Ayah kembali melotot.

Mahesa hanya tertawa, tidak berniat beradu argumen dengan Ayah.

"Kamu juga, Sa. Itu deket flat nomornya masih ada kotoran."

"Iya, Yah."

Ayah menghela napas lega, setidaknya Mahesa satu-satunya anak yang penurut.

"Bang—apa sih, kok semuanya noleh?!" Haris memekik, dimulai dari Mahesa yang dipanggil, kemudian Yasa, dan terakhir Ayah. Mereka semua kompak menoleh. "Aku panggil Bang Esa."

Mulut Ayah membulat. Namun, tetap saja ia kepo. Berbeda dengan Yasa, cowok itu berpura-pura mendekat, menyapu daun mangga dekat motor Mahesa.

"Kenapa?"

"Tukeran motor, yuk?"

Mahesa menoleh, ia mengabaikan motornya. Alis cowok itu terangkat. "Apa?"

"Iya ... atau Abang pake mobil Ayah, kan Ayah udah nggak dinas, dapet libur dari kantor. Aku pake motor Abang, gimana?"

Mahesa diam.

Haris ketar-ketir sendiri.

"Hng-"

"Kenapa? Motor kamu rusak?"

Haris melotot. "Ayah ngupiiing?"

Ayah berdecak. "Bukan nguping, jarak Ayah sama kamu cuma satu meter, belum lagi kamu bicaranya keras, ya Ayah denger."

Haris cemberut. "Nggak, pengen nyoba pake motor Abang."

"Sa? Gimana?"

"Aku? Yah?" Yasa menunjuk hidungnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan tangan kanannya memegang sapu.

"Bukan, maksud Ayah Mahesa. Panggilan kamu itu Yas, Yasa."

Yasa cengegesan. Ayah hanya menghela napas, sudah anaknya banyak, laki-laki semua lagi, tidak ada yang bisa Ayah kuncir rambutnya.

Kadang, Ayah berpikir, bagaimana caranya menghasilkan anak perempuan, karena yang keluar terus laki-laki, padahal Ayah sudah berusaha keras dan berdo'a setiap malam agar anaknya perempuan. Namun, ya, begini. Ayah syukuri saja, lumayan, meskipun ketiga anaknya—seringnya Haris dan Yasa—bertengkar sepanjang masa.

"Gimana, mau dipinjemin?"

Alis Mahesa terangkat, ia melirik Haris. "Boleh." Kemudian bibirnya tersenyum jahil menatap Ayah. "Asal Ayah pinjemin aku mobil baru yang warna putih."

Antitesis (X) | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang