10. Merasa Lain

383 42 2
                                    

Dari kecil, gue sering diajak nonton berita sama Papa. Nggak diajak juga, sih, sebenarnya. Gue cuma 'terpaksa' ikut nonton karena Papa nontonnya channel berita terus. Kayaknya karena udah kebiasaan, sampai sekarang pun gue suka nonton berita. Melihat bagaimana para wartawan pergi ke TKP. Entah ke lokasi kecelakaan, ke tempat demo, ke istana negara, ke kantor Gubernur, ke tempat bencana, bahkan ke tempat perang. Kemudian melihat bagaimana para wartawan mewawancarai narasumber dan menginformasikannya kepada masyarakat, it's freaking amazing! Gue pengen banget kayak mereka!

Makanya, waktu Kak Aisyah nawarin gue untuk bergabung di redaksi Majalah Sekolah, tanpa pikir panjang langsung gue iya-kan. Bahkan tanpa bilang lebih dulu pada Papa dan Mama.

"Ray, Alika, gimana? Aman ya wawancara Bu Lilis?" Tanya Kak Aisyah yang berdiri di depan papan tulis yang udah penuh dengan tulisan dan coretan.

"Aman, Kak! Kemaren Ray luwes banget dong wawancaranya. Udah pro!" Jawab Alika berlebihan.

"Ah, bisa aja. Jadi seneng, nih, gue." Gue cuma garuk-garuk kepala karena malu dipuji kayak gitu

"Lusa udah bisa dong, ngasih draft-nya ke aku?" Kak Anjani angkat tangan.

"Bisa, Kak. Nanti malem bakalan aku cicil buat diketik." Jawab Alika lagi.

"Oke, sip. Lanjut Rubrik Rekreasi. Gimana progresnya?" Kak Aisyah bertanya pada Jeremy yang duduk di sebelah gue.

"Udah 70%, Kak. Cerpen lagi ditahap seleksi, TTS udah, Ngakak Corner juga lagi dipilih bahan-bahannya. Sama Tips and Tricks juga udah." Jawab Jeremy lantang. Suara dia emang menggelegar kayak geluduk. "Oh ini ada satu yang masih PR, Kak. Yang kirim puisi masih sepi. Tadi siang dicek baru ada dua." Tambahnya sambil membaca notes di handphone.

Kak Aisyah mengangguk. "Sip. Nanti aku cek ya, Jer. Mmm ... buat puisi, nanti aku koordinasi sama anak OSIS, deh, biar di-post juga di OA LINE! mereka."

"Syah mau usul, tadi kan gue lihat-lihat Pinterest, terus nemu karikatur lucu gitu." Kak Dwiki menunjukkan layar handphone-nya pada Kak Aisyah. "Lucu, kan? Gimana kalau cover-nya pake karikatur?"

Kak Aisyah mengamati layar handphone Kak Dwiki cukup lama, "iya lucu." Kemudian mengoper handphone Kak Dwiki pada Kak Anjani. "Tapi waktu itu tuh udah sempet diskusi sama Pak Sur kalau cover edisi kali ini bakal pake foto Bu Lilis. Sebagai tanda penghormatan karena beliau mau pensiun."

Handphone Kak Dwiki sekarang ada pada Jeremy yang duduk di sebelah gue.

"Kak, aku kok kepikiran masukin gambar di salah satu Rubrik Informasi." Naufal yang daritadi sibuk di depan laptop bersuara.

"Di mananya, Fal?" Kak Aisyah menatap Naufal.

"Di bagian opini, Kak. Semalem aku lagi nge-layout salah satu tulisan opini. Kalau nggak salah judulnya 'Seramai Apapun Isi Dunia, Ibu Selalu Punya Cara Menemukan Kita'. Terus jadi kepikiran buat nyisipin gambar buat tulisan itu." Naufal kembali mengutak-atik laptop-nya, dan seketika layar proyektor menampilkan sebuah gambar papan catur berwarna hitam dan putih.

"Menurut kalian gimana? Pas nggak sama judulnya?" Tanya Naufal pada kami.

Mulut gue menganga ketika menangkap maksud gambar yang ditunjukkan Naufal. Di sana, di atas papan catur berwarna hitam dan putih, berdiri sebuah pion catur yang dibuat seperti seorang Ibu berambut panjang. Pion tersebut berwarna pink dan sedang mengangkat pion yang menyerupai seorang anak. Warnanya serupa, pink juga. Yang bikin gue takjub adalah, si pion Ibu ini berdiri di tengah-tengah pion-pion berwarna hitam dan putih yang berjatuhan. Ini keren parah, sih, maknanya. Naufal is brilliant!

[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang