38. Life Is Still Going On

290 37 7
                                    

Notes: I'm sorry, this chapter maybe boring cause almost 5000 words😔

***

Ternyata memilih jurusan itu nggak mudah. Banyak perhitungan, tapi nggak ada rumusnya. Banyak pertimbangan yang penjabarannya kayak lagi ngerumusin undang-undang milik negara.

Clock is ticking. Nggak ada waktu buat leha-leha dan berpikir 'gimana nanti'. Karena udah gagal di dua kesempatan sebelumnya, gue segera mencari universitas mana aja yang membuka jalur masuk melalui ujian mandiri.

Gue menolak gap year seperti yang pernah diusulkan Mama. Perguruan Tinggi Negeri bukan lagi prioritas dan incaran, tapi akreditasi tetap jadi pertimbangan. Dan Kedokteran udah gue coret dari daftar sejak awal. Gue masih bimbel. Karena nggak bisa dipungkiri, gue perlu banyak bantuan mengenai latihan soal juga tips dan trik. Yang mana, hal itu hanya bisa gue dapatkan lewat bimbel.

Saran dan masukan dari banyak orang malah bikin kepala gue pusing nggak keruan. Some people said yellow is the best, but the others said brown is more challenging.

Mama adalah penganut ilmu pasti dan juga kampus negeri. Satu tambah satu sama dengan dua, jadi selalu menyarankan untuk memilih rumpun eksakta. Meskipun nggak sengotot dulu, tapi gue masih bisa merasakan tipis-tipis sinyal ambisi dalam saran yang diberikannya.

Papa adalah sosok yang paling demokratis. Pilihan dan keputusan semuanya dia serahkan pada gue. Papa cuma usul cari kampus yang jauh sekalian, biar punya pengalaman merantau, punya banyak teman, kenalan, dan relasi yang lebih luas.

Mas Janu adalah orang yang paling berintegritas dan berorientasi pada masa depan. Dia bilang, sebelum memilih jurusan, gue harus mengenali diri gue terlebih dahulu, antara lain:
a. pertama, gue tertarik, suka, dan mampu dalam bidang apa;
b. kedua, apa yang ingin gue capai dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan;
c. ketiga, kontribusi apa yang ingin gue berikan lewat ilmu yang akan gue emban.
Dia bilang, kuliah itu perkara mudah. Mau jadi apa itu urusan belakangan. Yang terpenting adalah gue bisa memberikan apa lewat pendidikan tinggi yang nggak semua orang bisa cicipi. It's not about what you want to, but what you can do. Karena menurutnya, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi makhluk yang lain. Udahlah emang cocok banget jadi Menteri dia ini.

Dan Rakha, si supel yang gemar akan tantangan, menyarankan untuk memilih jurusan dengan dua indikator: modern dan digital. Dia bilang, dunia makin hari makin maju, alat-alat makin canggih, dan internet makin menembus batas. Dia bahkan menjelaskan tentang revolusi industri 4.0 yang bikin gue amaze saking nggak pahamnya.

Waktunya gue memilih dan menentukan. Setelah perenungan panjang dan meminta petunjuk Allah setiap malam, dari sekian banyak saran dan masukan, akhirnya gue memilih tiga jurusan yang akan gue pertaruhkan. Ilmu Komunikasi, Sistem Informasi, dan Teknik Infrastruktur Lingkungan. Biar adil, gue memilih dua kampus negeri (UI dan UGM) dan dua kampus swasta (Telkom dan UNPAR).

Gue mencoba semua peluang. Daftar lebih dari dua jalur ujian mandiri supaya masih punya alternatif ketika pahit-pahitnya gue gagal lagi. Like Mama said, we must prepare for the worst.

***

Seminggu setelah gue selesai dengan segala macam ujian masuk perguruan tinggi yang bikin capek fisik dan pikiran, sobat-sobat gue ngajakin nginep ramean di vila milik keluarganya Nino di Lembang.

Ajakan itu langsung gue iyakan mengingat gue butuh pengalihan sejenak dari segala macam kalut yang surprisingly bisa gue lewati. I've been trying my best, bagaimanapun hasilnya nanti akan gue terima dengan lapang dada dan tanpa penyesalan.

[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang