3. Mon(ster)day!

515 60 1
                                    

Satu minggu ada tujuh hari. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Dan dari ketujuh hari itu, gue paling nggak suka hari Senin.

Upacara bendera menjadi alasan pertama kenapa gue nggak suka hari Senin. Bayangin, gue harus berdiri di bawah sinar matahari selama dua jam sambil mendengarkan amanat Kepala Sekolah yang nggak pernah ada habisnya. Dan selama berdiri itu, kita dilarang ngobrol. Kalau ketahuan ngobrol, siap-siap aja diciduk oleh Bu Elin sang Guru BK terus dibarisin di pinggir lapangan untuk jadi tontonan anak-anak satu sekolah.

Alasan kedua gue nggak suka hari Senin adalah karena ada razia! Di sekolah gue, ada dua jenis razia di hari Senin. Yang pertama razia kelengkapan atribut sekolah sebelum masuk gerbang, antara lain: sepatu hitam, kaos kaki putih setengah betis, ikat pinggang hitam, dan logo-logo yang menempel di seragam. Yang kedua adalah razia rambut dan kuku setelah beres upacara sebelum masuk ke dalam kelas. What the fuck! Gue benci banget sesi ini. Sumpah lah, ya emang kenapa, sih, kalau punya rambut panjang? Yang penting rajin keramas dan nggak mengganggu proses belajar mengajar, kan? Korban-korban razia ini, nantinya bakal dibarisin di pinggir lapangan, sebelahan sama korban yang terciduk ngobrol saat upacara berlangsung. Dan di sebelahnya, ada barisan para korban kesiangan. Dan khusus yang kena razia rambut, bakal digunting secara asal hari itu juga oleh Pak Baryadi. Nightmare nightmare!

Yang ketiga adalah males bangun! Lo semua ada yang kayak gue nggak kalau Minggu malem? Gue tuh tiap Minggu malem mendadak kayak kena syndrom susah tidur, dan besok paginya susah bangun alias pasti gue bangun telat di Senin pagi. Kayak pagi ini, lagi-lagi gue telat bangun. Gue jadi orang terakhir yang keluar dari rumah. Mama dan Papa udah berangkat karena punya kelas pagi. Mas Janu nginep di kost-an temennya dan Rakha dengan teganya meninggalkan gue yang panik mencari kaus kaki putih yang nggak tahu di mana rimbanya.

"Hati-hati, Ray!" Ucap Tante Winda setelah gue menyalami tangannya. "Jangan ngebut ya Pak bawa motornya." Ucapnya pada driver Go-Jek yang pagi ini akan mengantarkan gue ke sekolah.

Sesuai perintah Mama, gue datang ke rumah Abi untuk meminjam kaus kaki putihnya.

"Aku berangkat ya Tante, Assalamualaikum!" Ujar gue setelah memakai helm dan naik ke jok motor.

"Waalaikumsalam, kabarin Tante kalo udah sampe Ray!" Teriak Tante Winda sambil melambaikan tangannya yang gue balas dengan acungan jempol.

"Pak, ngebut aja Pak! Saya mau upacara, nih." Gue menepuk pundak bapak driver.

"Tadi kata Ibunya jangan ngebut, Dek." Kata bapak driver.

"Ngebut aja Pak. Nggak akan ketahuan, kok. Udah telat banget soalnya." Balas gue.

"Oke. Pegangan yang kenceng, ya!" Bapak driver nge-gas motornya dengan kecepatan penuh. Membelah jalanan Soekarno-Hatta di Senin pagi yang malas ini. Semoga gue sampai sekolah tepat waktu, biar nggak nambah catatan poin pelanggaran karena datang kesiangan. Mama bisa ngomel sepanjang hari kalau sampai kejadian.

***

Gue berlari sekencang mungkin setelah lolos pemeriksaan atribut di depan gerbang. Anak-anak berseragam putih abu-abu seperti gue mulai berhamburan ke arah lapangan. Suara Pak Baryadi juga udah kedengeran lewat mikrofon. Menyuruh para murid untuk segera memasuki lapangan karena upacara bendera akan segera dimulai.

Gue memasuki kelas yang udah kosong dan berjalan tergesa menuju tempat duduk gue di belakang kemudian menaruh ransel di atas meja.

"Ah anjing!" Umpat gue ketika gue nggak menemukan topi di dalam ransel.

Sialan! Lolos pemeriksaan tapi nggak bawa topi mah sama aja bohong. Bakal dapet poin juga ujung-ujungnya.

[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang