13. Surprise

309 43 5
                                    

"Kalau bisa ambil Kedokteran, Rayi."

Kali ini gue cuma bisa menatap Mama dengan pasrah. Energi gue rasanya selalu habis tiap ngobrol—kayaknya lebih cocok disebut debat, sih—bareng Mama. Semua pendapat gue rasanya nggak pernah ada artinya setiap ngobrol bareng Mama. Mama selalu punya argumen yang membuat gue merasa kalah.

Terhitung hampir tiga semester sejak gue masuk SMA, Mama selalu ribut nyuruh-nyuruh gue untuk belajar ekstra supaya bisa masuk Kedokteran. Yang mana gue nggak suka, dan ... nggak mau. Mama tahu itu, tapi seolah nggak pernah ingin tahu.

"Manfaatkan waktu yang tersisa buat belajar. Kamu bentar lagi kelas tiga, lho. Kurangi dulu mainnya, kurangi dulu kegiatan-kegiatan yang sekiranya mengganggu waktu belajar kamu."

"Ma," gue memutar-mutar bolpoin yang gue pegang, "Mama tahu nggak aku sukanya apa? Aku sukanya ngapain?"

"Tahu Rayi, Mama tahu semuanya."

Gue tersenyum kecut mendengar jawaban Mama. "Aku sukanya foto-foto, ketemu orang-orang, dengerin cerita-cerita orang, dan pergi ke tempat-tempat baru."

"Itu hobi, kesukaan. Nggak harus dijadikan prioritas, Rayi."

Belum sempat gue membalas kata-kata Mama, tiba-tiba pintu kamar gue terbuka dan ada Rakha yang berdiri dengan raut panik di sana. "Ma, Yangkung masuk rumah sakit!"

***

Malam ini Mama nyetir kayak kesetanan. Gue sempat melirik speedometer saat jarumnya nyaris menyentuh angka 100 km/jam. Selanjutnya gue nggak berani lihat-lihat lagi, gue cuma bisa berdoa semoga kami bertiga nggak berakhir jadi pasien rumah sakit.

Mama tampak sangat serius di balik kemudi, nyalip sana-sini dengan berani. Tapi gue bisa melihat raut panik, khawatir, dan sedih dari wajahnya.

Yangkung masuk UGD. Awalnya beliau batuk, tapi lama-lama memburuk, dan tadi sore sesak napas dan akhirnya dibawa ke rumah sakit. Itu yang gue dengar dari Rakha waktu dia ditelepon Yangti.

Saat akhirnya mobil berhasil diparkir Mama di parkiran rumah sakit, kami bertiga bergegas turun dan berlari ke dalam. Di depan pintu besar udah ada Yangti dan Tante Helga.

"Yangti!" Gue segera menghambur ke pelukan hangatnya.

"Kamu ikut?" Yangti menepuk-nepuk punggung gue.

"Bapak gimana?" Tanya Mama.

"Udah stabil, Mbak. Dokter bilang ada masalah di paru-parunya Bapak, pneumonia. Ringan, tapi untuk lansia, beresiko." Jelas Tante Helga.

Nggak lama, Om Rendi keluar dari ruangan Yangkung berada. Dia melepas masker, penutup rambut, dan baju khusus. Astaga, gue makin deg-degan. Apakah kondisi Yangkung separah itu? Kenapa harus pakai aneh-aneh gitu buat lihat ke dalam?

"Bapak gimana, Ren?" Mama kembali menanyakan keadaan Yangkung.

"Bapak lagi bangun kok, Mbak. Bisa ngobrol-ngobrol juga." Jawab Om Rendi.

"Syukurlah," Mama berujar lega.

"Boys?" Om Rendi menatap gue dan Rakha bergantian. "Yangkung pengen ketemu."

"Mbak duluan, deh, yang masuk!" Mama meminta.

Om Rendi menggeleng, "Bapak takut diomelin kalau Mbak Rere yang masuk."

Tuh, kan, semua orang emang takut sama Mama. Mama kalau urusan ngomel emang juaranya, nggak ada lawan.

"Ren, ah! Serius, ini Mbak pengen lihat kondisi Bapak." Mama mendesak Om Rendi.

"Iya Mbak, iya. Nanti gantian, Bapak pengen ketemu cucu-cucunya dulu."

Selanjutnya gue dan Rakha memakai pakaian yang mirip baju operasi, penutup rambut, masker, disemprot cairan steril, kemudian dipandu oleh seorang perawat untuk masuk ke ruang rawat tempat Yangkung berada. Saat berhasil masuk, gue bisa melihat Yangkung sedang berbaring setengah duduk dan dikelilingi mesin yang berkedip serta selang-selang.

[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang