34. Pulang

240 31 7
                                    

"Nggak ngantuk, Ray?"

Pertanyaan Papa hanya gue jawab dengan gelengan kepala. Setelahnya, Papa ikut memejamkan kedua matanya. Menyusul Mama, Rakha, dan Mas Janu yang tertidur lebih dulu karena nggak kuat menahan kantuk.

Atap-atap rumah penduduk dan jalanan berbatu menjadi pemandangan yang gue lihat sejak beberapa menit yang lalu. Menggantikan pemandangan hamparan sawah dan barisan padi merunduk yang mulai menguning.

Hari ini kami mudik ke rumah Yangti di Tangerang Selatan. Kami memutuskan menggunakan kereta api karena enggan berjubal selama berjam-jam dengan kendaraan lain di jalanan yang macetnya makin nggak masuk akal.

Dulu, zaman gue SD, waktu jalan tol masih normal dan masuk akal, perjalanan Bandung-Tangsel paling lama gue tempuh selama 3 jam naik mobil. Sekarang boro-boro! Normalnya bisa sampai 5 jam, kalau lagi musim mudik lebaran kayak sekarang bisa sampai 7-8 jam! Apa nggak tua di jalan?!

Omong-omong soal mudik, minggu lalu gue nonton salah satu video milik Agung Hapsah yang di-share seseorang di kolom reply sebuah thread Twitter.

Video berdurasi lima menit tiga puluh lima detik itu isinya tentang jawaban atas sebuah pertanyaan yang diajukan salah seorang teman Agung Hapsah: Gung, kamu nanti pulang kampung nggak?

Berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana pulang kampung nggak? Membuat Agung Hapsah merangkum tempat-tempat yang pernah dan sedang ia tinggali selama hidupnya. Di manakah sebenarnya kampungnya berada? Ke manakah dia harus pulang?

Kemudian sampailah video tersebut pada sebuah kesimpulan: pulang kampung adalah kembali pada keluarga dan teman-teman yang menerimamu dan membuat kamu nyaman. Karena tanpa mereka, kampung hanya sekadar lokasi.

Setelah menonton video tersebut, gue jadi bertanya-tanya. Kampung gue itu sebenarnya di mana? Apakah di Yogyakarta tempat Yangkung dan Yangti berasal? Apakah di Tangerang karena Mama dulu tinggal dan gue numpang lahir di sana? Atau di Bogor tempat kelahiran Papa? Atau bahkan di Bandung karena gue tumbuh besar di kota tersebut?

Sejujurnya, tahun ini gue nggak excited menyambut lebaran seperti tahun-tahun ke belakang. Soalnya, alasan gue semangat mudik ke Tangerang udah nggak ada. Yangkung nggak akan pernah hadir di tengah riuh tawa dan suka cita kami lagi. Ditambah, gue masih diselimuti rasa takut bercampur malu atas kegagalan bulan lalu. Gue belum siap ketemu orang-orang dan mendapat pertanyaan: mau kuliah di mana? Mau ambil jurusan apa?

Apalagi kalau nanti kami berkunjung ke rumah Kakek di Bogor. Bertemu Bude, Pakde, dan sepupu-sepupu gue. Semuanya bagaikan mimpi buruk, gue nggak siap.

Lalu, apakah saat ini gue benar-benar sedang pulang kampung? Karena pada kenyataannya, perasaan gue jauh dari kata nyaman. Sebaliknya, gue takut akan berbagai pertanyaan yang menjurus pada sebuah penghakiman: gue nggak pernah menjadi apa-apa.

***

"Nih, Mas!"

Gue mendongak saat Rumi menyodorkan segelas minuman dingin bertabur irisan kacang almond di atasnya. Baunya, sih, kayak jus pisang.

"Ini apa, Rum?" Gue bertanya saat Rumi duduk di kursi kosong di sebelah gue.

"Banana milkshake, tapi nggak ada es krimnya. Terus aku males cincang-cincang kacang almond-nya. Jadinya gede-gede begitu, deh." Rumi nyengir lebar, menampilkan barisan giginya yang dipagar kawat berkaret biru.

Hoalaaaaa, gue kira jus pisang.

"Thanks, ya." Gue menerima gelas pemberian Rumi dan mulai meminum banana milkshake buatannya. "Enak, nih. Layak jual." Seloroh gue. Walaupun sebenarnya rasanya kurang manis sedikit. Tapi serius enak.

[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang