"Kalau gue jadi YouTuber, menurut lo gimana, Ray?"
Pertanyaan Utuy barusan sukses membuat gue kehilangan konsentrasi dan menyebabkan hitungan di kepala menjadi buyar.
"Enak ya jadi YouTuber, kerjanya cuma bikin konten abis itu dapet duit. Haha-hihi, nge-prank, dan jailin orang doang dibayar. Entar kalau ditanya tetangga sama keluarga besar keren lagi jawabnya: saya konten kreator, Pak/Bu. Anjrit, fix gue mau merintis usaha YouTube!"
Gue memutar kursi yang gue duduki ke arah Utuy yang sedang tengkurap di atas tempat tidur gue. "Kerja jadi konten kreator itu nggak 'cuma', Tuy. Mereka juga pake effort dan penuh perjuangan di balik kamera. Lagian lo ngapain, sih, mikirin begituan? Bukannya belajar biar bisa masuk PTN."
Kepala Utuy yang dari tadi tertunduk menatap buku tulis terangkat, "ya elah, nggak asik banget hidup lo! Masuk PTN bukan segalanya, Ray. Bukan jaminan buat masuk surga. Selow aja lah."
Hhhhh. Capek banget emang ngomong sama orang kelewat woles kayak si geledek ini.
"Lo nggak stres apa Ray belajar mulu?"
"Ya kan emang kewajiban."
"Yang wajib mah sholat meureun (kali). Rukun Islam dari gue TK jumlahnya masih lima tuh perasaan. Belum nambah jadi enam karena ada kewajiban belajar."
Kayaknya diam adalah pilihan yang paling tepat.
"Ray, Ray!"
Gue mengabaikan panggilan Utuy dan memilih fokus pada PR Fisika yang susahnya suka bikin darah tinggi.
"Ray!"
"Ray!"
"Rayiiiii!"
"Ih serem nggak ada kupingnya."
Gue berdecak malas, "apa, sih, Tuy? Berisik."
"Nah gitu dong, kalau dipanggil tuh nyahut. Allah kasih dua telinga itu untuk mendengar, sobatku." Tangan Utuy masih sibuk menyalin PR Biologi punya gue, sedangkan mulutnya sibuk meracau nggak jelas. "Lo suka nonton bokep nggak, Ray?"
Oke, kayaknya gue harus ngusir dia dari sini sebelum mulutnya makin gacor. "Lo mending pulang, deh. Bawa aja buku gue ke rumah lo. Lo berisik, PR gue nggak kelar-kelar jadinya."
Utuy malah tertawa, "abisan nggak asik diem-dieman. Tapi nih Ray, gue yakin banget si Abi ngerem di kamar tuh nggak 100% belajar. Dia pasti disambi nonton bokep. Orang pinter tuh biasanya lebih membahayakan."
Kan, emang minta banget ditabok mulutnya.
"Pernah tuh ya, gue pinjem handphone-nya Abi buat ngecek promo Go-Food eh dia marah-marah. Gue yakin tuh di handphone-nya banyak video enak."
"Lo minjemnya nggak pake izin kali, makanya dia marah." Begonya, gue tanggepin mulu lagi.
"Ya elah, kita temenan berapa tahun, sih? Gue sering pinjem handphone lo, handphone-nya Rakha, Nino, sama Lolo juga pada woles aja. Si Abi doang emang nih. Kan gue jadi suudzon."
"Maksud dan tujuan lo ngomongin ini apa? Kalau lo penasaran, lo tanya langsung aja sama Abi."
Kali ini Utuy terkekeh. "Nggak ada sih, gue hanya mencoba membangun obrolan."
"Lo harus bersyukur ya gue masih sabar dan nggak lempar ini." Gue mengangkat buku paket Fisika yang tebalnya bisa bikin kepala benjol.
Utuy meringis, "abisan lo diem mulu. Cerita apa kek, Ray. Curhat juga boleh, gue siap sedia mendengarkan, nih."
Gue mengangkat bahu. "Hidup gue mah gini-gini aja. Nggak ada yang perlu diceritain."
"Ya nggak apa-apa, gue tetep dengerin. Itung-itung belajar kalau nanti lo punya pacar. Belajar membangun obrolan, Ray."
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.
Teen Fiction[Completed] [Seri ke-tiga The Book of Us] Our dream begin in youth.