18. The Debate & Election

248 33 4
                                    

"Rayi, boleh Mama masuk?" Suara Mama terdengar di balik pintu.

"Masuk aja, Ma! Nggak dikunci." Seru gue karena enggan beranjak dari kursi. Tanggung lagi nulis.

"Lagi belajar? Mama ganggu nggak?" Mama bertanya setelah masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

"Review materi tadi doang, sih, Ma. Nggak ganggu, kok." Gue menjawab sebelum bertanya, "ada apa, Ma?"

"Nggak ada apa-apa. Pengen main ke kamar kamu aja, udah lama kayaknya Mama nggak main ke sini." Mama duduk di atas tempat tidur. Tangannya mengusap seprai dan bantal, matanya memandang sekeliling. "Besok Mama beli seprai baru, ya? Yang ini udah pudar warnanya."

Gue hanya mengangguk mengiyakan.

"Rayi, lampunya kurang terang nggak, sih? Emang enak ya buat baca?"

"Kan ada ini, Ma." Gue menunjuk lampu belajar yang nggak gue nyalakan.

"Ganti aja, ah. Nanti Mama bilang sama Papa." Selanjutnya Mama berjalan ke arah lemari. Membukanya, kemudian memandangi dan mengamati isinya. "Mau beli celana jeans lagi? Kaus atau kemeja?"

"Nggak, Ma. Masih pada bagus, kok."

Mama memilah-milah celana jeans dan kaus yang terlipat, juga kemeja yang menggantung. "Hmm ... iya, sih. Mama tuh heran sama Rakha, bajunya kok nggak bisa awet. Dikit-dikit robek, dia pakenya gimana, ya?" Mama masih sibuk melihat-lihat baju gue sambil terus menggumam.

Setelah puas melihat baju, kini Mama berjalan ke arah rak buku di sebelah gue. Matanya yang tajam memindai dari atas ke bawah, kanan ke kiri, dan begitu seterusnya. "Minggu ini ke Gramed, yuk! Udah lama kita nggak cari buku."

"Dua hari yang lalu aku abis hunting buku di Palasari bareng Bang Lanang sama Kak Nirmala. Terus beli beberapa."

Mama menoleh, "oh, ya? Kok kamu nggak bilang pergi ke Palasari?"

"Aku bilang sama Papa."

Mama mengangkat kedua alisnya sebelum mengangguk ragu. "Kamu perlu sesuatu? Atau lagi ada yang pengen dibeli?"

Gue menggeleng, "nggak ada."

Nggak tahu perasaan gue aja atau gimana, tapi Mama terlihat agak kecewa dengan jawaban gue. Jadi gue dengan cepat meralat jawaban gue barusan. "Kalau ada yang pengen aku beli, aku pasti bilang sama Mama."

Mama kembali mengangguk-anggukan kepalanya sebelum beralih pada schedule board yang menempel di dinding. Matanya yang tajam kembali memindai dengan teliti.

"Minggu depan padet, ya? Ini ada tiga rapat." Telunjuk Mama menunjuk tiga kotak yang tertulis Rapat Majalah di tanggal dan hari yang berbeda.

Gue meringis, "baru rencana kok itu. Belum pasti." Ya Allah gue berasa lagi diinspeksi, deh. Tegang.

Gue sedikit bernapas lega ketika Mama kembali berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di sana. "Kamu mau ikut jadi panitia Bazaar?"

"Mama tahu?" Mungkin Mama tahu dari Rakha. "Belum tahu, belum buka juga oprec-nya." Gue menambahkan.

"Tahu, kemarin Rakha cerita. Tante Bibi juga bilang katanya Nina daftar jadi calon Ketua Bazaar."

Lagi-lagi gue hanya mengangguk. Bingung juga mau cerita kalau gue ditawarin jadi Kadiv sama dua calon kandidat sekaligus.

"Rayi," Mama kembali bersuara setelah kami sama-sama diam.

"Ya, Ma?"

"Cerita aja." Mama meraih rubik dari atas meja belajar, "kamu sekarang jarang cerita-cerita sama Mama. Is everything well? Are you okay?"

[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang