Kalau ditanya dengan siapa gue ingin bertukar peran, gue akan memilih Abi sebagai jawaban tanpa ada keraguan.
He's hella smart.
He has supportive parents.
And he has a lovely sister.
Plus, he's famous in school.
Plus plus, he's handsome.
Plus plus plus, so many girls want to be his girlfriend.
Perfect.
Kurang apalagi?
Pernah sekali waktu, gue benci sama Abi. Tepatnya saat kami duduk di kelas 8. Waktu itu, gue menjadi salah satu siswa yang terpilih untuk mengikuti penjaringan OSN untuk mata pelajaran Fisika, termasuk Abi. Hingga pada akhirnya setelah melewati beberapa pre-test, dia yang terpilih mewakili sekolah dan mengantongi juara pertama. Setelahnya, nama dan fotonya di pajang di mading sekolah. Tak lupa, namanya juga disebut-sebut oleh Kepala Sekolah saat upacara bendera. Gue benci karena dia selalu lebih unggul. Gue benci karena nggak pernah bisa menyainginya. Gue benci karena gue gagal bikin pembuktian pada Mama kalau gue juga bisa jadi yang pertama.
"Gue sering merasa nggak puas dengan diri gue. Sekeras apapun gue berusaha, gue selalu merasa ada yang kurang dari diri gue, tapi nggak tahu apa." Kami duduk bersisian di atas baja beroda yang lajunya lambat karena terjebak di antara padatnya baja-baja beroda lainnya.
"Kurang bersyukur?" Abi bertanya, "udah. Gue sangat bersyukur punya keluarga yang sayang sama gue, punya temen-temen yang selalu ada buat gue." Abi menjawab pertanyaannya sendiri.
Badan gue maupun Abi sedikit terdorong ke depan, bersamaan dengan bus yang terasa berhenti mendadak. Setelahnya, gue bisa mendengar sang supir mengumpat dan menyerapah pada pengemudi motor yang meyerobot akses jalan seenaknya.
"Tapi gue kadang merasa kosong, bingung sendiri, dan ... capek." Abi menghela napas lelah. Kedua matanya masih betah memandangi jalanan dari sisi jendela.
"Orang-orang selalu beranggapan kalau gue bisa segalanya. Saat gue berhasil meraih sesuatu, mereka pikir sudah seharusnya gue begitu. Gue tuh capek dipandang sempurna melulu."
Bibir gue kembali terkatup. Kata-kata yang hendak gue ucapkan kembali tertelan saat gue melihat Abi menghela napas yang terlihat begitu berat. "Gue udah berusaha cuek, bodo amat, dan nggak mau ambil pusing, tapi ternyata tetep aja kepikiran. Kayak ... apa, ya ... gue merasa punya beban untuk selalu berhasil. Gue seolah nggak boleh gagal, Ray."
"Orang tua lo ..."
"Nggak, bukan." Abi memotong ucapan gue cepat. "Orang tua gue nggak pernah nuntut harus begini, harus begitu."
"Terus siapa?" Gue bertanya.
"Samsat! Samsat! Samsat siap-siap Samsat!" Kondektur berseru dari arah depan, menyebutkan pemberhentian berikutnya. Meminta para penumpang yang akan berhenti di depan Samsat untuk bersiap.
"Ya ... orang-orang," Abi menjawab ragu. "Lo pernah nggak, sih, merasa dapet indirect pressure, tapi tuh kerasa banget sampe bikin lo capek? Sekarang yang gue rasain tuh kayak gitu."
Rasanya pengen banget gue jawab kalau gue juga merasakan hal serupa. Perasaan capek, marah, bingung, dan takut gagal setiap hari menghantui. Bedanya, pressure ini gue dapatkan dari orang tua gue sendiri. "Apa ini ... jadi salah satu alasan yang bikin lo ... ngerokok?" Gue bertanya hati-hati.
Abi menoleh, bersamaan dengan bus yang berhenti. Beberapa penumpang berdiri, dan bergantian untuk turun. "Kenapa? Nggak boleh kalau gue ngerokok? Anak yang dicap baik dan pinter sama orang-orang nggak boleh ngerokok? Lo juga mengekspektasikan sesuatu, kan, sama gue? Lo kaget karena tahu gue ngerokok? Lo kecewa karena temen lo ini ternyata nggak seperti yang lo bayangkan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.
Teen Fiction[Completed] [Seri ke-tiga The Book of Us] Our dream begin in youth.