6. Papa

471 56 1
                                    

I love Papa so much. Kalau disuruh milih antara Papa atau Mama, gue akan pilih Papa tanpa pikir panjang. Gue tentu sayang Mama juga, tapi ... lebih banyak takutnya hehe.

Mama banyak aturan. Harus ini, harus itu. Nggak boleh kayak gini dan nggak boleh kayak gitu. Walau keberatan dan dibarengi aksi protes, semua permintaan dan perintah Mama tetap gue lakukan, karena gue takut Mama marah. Marahnya Mama bukan yang ngomel-ngomel berisik kayak Tante Dinda kalau lagi marahin Utuy. Marahnya Mama itu nggak banyak bicara, bahkan cenderung tenang, tapi bikin gue takut.

Gue masih ingat banget waktu gue SMP, Mama marah karena gue ngajak Rakha bolos bimbel buat nonton aksi sulap di Gedebage bareng sama teman-teman gue yang lain sepulang sekolah. Makanya, gue takut banget tiap bikin kesalahan. Kayak kemaren gue kesiangan datang ke sekolah. Papa nggak ngomong apa-apa, pun sama dengan Mama. Atau mungkin belum? Ya intinya gue sama Rakha masih was-was.

Kalau Rakha suka nempelin Mama, gue sering ngintilin Papa ke mana-mana. Gue ikut Papa mancing, gue ikut Papa lihat-lihat gitar, gue ikut Papa hunting foto, gue ikut Papa muter-muter nyari buku bekas di Palasari, dan kegiatan-kegiatan lain yang gue rasa itu seru banget. Walau bercandaannya suka garing, tapi Papa super pengertian. Papa juga nggak banyak nuntut dan nggak banyak ngatur. Dan yang paling gue suka adalah, Papa jago banget bikin nasi goreng. Lengkap dengan telur mata sapi yang kuning telurnya bulat sempurna dan tepat berada di tengah.

"Wah, nasi goreng!" Seru gue antusias ketika mendapati Papa sedang menuangkan kecap manis ke dalam wajan. "Pa, aku boleh request nggak?"

"Request apa, nih?" Kedua tangan Papa masih sibuk memegang wajan dan spatula.

"Aku mau dua telornya." Gue berdiri di sebelah Papa sambil membuat simpul dasi.

"Oke! Tolong ambil telornya Ray, sekalian buat Rakha sama Mas Janu."

Gue berjalan ke arah lemari es untuk mengambil telur. Bersamaan dengan Rakha yang datang ke arah dapur.

"Yah ... kok nasi goreng lagi?" Keluhnya setelah mengintip wajan berisi nasi yang sedang diaduk-aduk Papa.

"Protes mulu lo! Tinggal makan juga." Balas gue sambil meletakkan lima buah telur ayam ke dalam mangkuk.

"Kemaren sarapan nasi goreng, kemarennya lagi nasi goreng, kemaren-kemarennya juga nasi goreng. Bosen tahu, Pa." Keluh Rakha lagi kemudian menarik kursi untuk dia duduki.

"Hahahaha bosen, ya? Gimana, dong? Papa cuma bisa masak nasi goreng sama Indomie." Papa tertawa kemudian mematikan kompor.

Gue membawa piring untuk menaruh nasi goreng yang udah matang, sementara Papa bersiap untuk menggoreng telur.

"Kha, nih taro meja!" Seru gue agak jengkel karena dia malah main handphone bukannya bantuin.

"Mama udah berangkat ya Pa?" Rakha menerima piring yang udah gue isi dengan nasi goreng.

"Iya, katanya ada yang mau bimbingan pagi sebelum kelas."

"Papa berangkat jam berapa?" Giliran gue yang bertanya.

"Jam sepuluh atau sebelas. Kelas Papa setengah satu hari ini, makanya santai." Jawabnya sambil memindahkan telur yang udah digoreng ke atas piring.

"Nah, ayok kita sarapan!" Serunya riang sambil meletakkan piring berisi lima telur mata sapi ke atas meja makan.

"Mas Januuuuu sarapan dulu!" Teriak Rakha.

"Mas Januuuuu!" Gue ikutan teriak karena Mas Janu nggak nyahut.

"Aku nyusul Paaaaaa, tanggung lagi ngetik!" Mas Janu balas berteriak setelah terdengar pintu kamar dibuka.

"Okeee!" Papa menjadi orang terakhir yang berteriak.

[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang