"Ma, lagi apa?"
Mama mengalihkan pandangannya dari layar handphone dan beralih menatap gue.
"Hey My Boy! Hm ... lagi balesin chat mahasiswa, nih. Ada apa sayang?" Tanya Mama kemudian kembali menatap layar handphone-nya.
"Ada apa?" Ulangnya.
Gue bergabung duduk di sebelah Mama setelah memindahkan buku tebal di sebelahnya ke atas meja.
"Mama sibuk nggak?"
"Nggak. Jadi, ada apa Rayi?"
Rayi.
Sebenarnya gue kurang suka Mama manggil gue kayak gitu. It's feel like the call from stranger. Everyone that close to me calls me 'Ray', and then why Mama always calls me 'Rayi'?
"Aku mau ngomong, tapi Mama jangan marah." Ujar gue hati-hati.
Mama menaruh handphone-nya ke atas buku tebal yang tadi gue pindahkan. Kini kedua matanya menatap gue sepenuhnya.
"Oke."
Gue menarik napas pelan dan mengembuskannya pendek-pendek.
"Ma, aku pengen berhenti bimbel." Akhirnya kalimat itu berhasil gue ucapkan.
Belum ada respon apa-apa dari Mama, tapi gue sempat melihat matanya sedikit melebar saat gue selesai berkata demikian. Gue mendadak takut.
"Kamu ada masalah? Mau cerita sama Mama?"
Gue menggeleng. Bukan respon seperti ini yang gue harapkan.
"Kenapa? Ada pelajaran yang sulit kamu pahami? Temen kamu ada yang nakal? Atau kamu nggak suka sama cara tutornya mengajar?" Mama mengusap rambut gue pelan dan gue kembali menggeleng.
"Terus kenapa?"
Gue kembali menghela napas, "Nggak apa-apa. Aku cuma nggak mau bimbel."
Usapan Mama berhenti.
"Kalo pindah tempat bimbel gimana? Di tempatnya Nina, mau?"
"Ma, aku rasa belajar di sekolah sama belajar di rumah udah cukup buat aku. Kalaupun ada yang aku nggak paham, aku bisa tanya Mas Janu, Abi, atau Bang Lanang. Atau aku bisa tanya Papa sama Mama juga." Gue mencoba menjelaskan tujuan gue pengen berhenti bimbel.
"Minggu lalu aku resmi gabung di redaksi Majalah Sekolah. Dalam seminggu, kami bisa tiga sampe empat kali kumpul. Kayaknya aku nggak bisa ngelakuin semuanya sekaligus." Lanjut gue.
"Kenapa baru bilang?" Tanya Mama.
"Soalnya aku takut Mama marah kalau aku bilang pengen berhenti bimbel." Jawab gue.
"Bukan itu, tapi Majalah Sekolah. Kenapa baru bilang?" Tanya Mama lagi.
"Aku udah bilang sama Papa. Mau bilang sama Mama suka lupa, soalnya kadang Mama nggak di rumah atau pulangnya malem."
Mama mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oke, jadi masalahnya soal waktu, 'kan? Kita atur jadwalnya kalau gitu. Hari apa aja kamu kumpul redaksi Majalah Sekolah? Biar Mama hubungin tutor kamu buat ganti jadwal."
Lah? Kok jadi gini?
"Emang kenapa, sih, Ma kalau berhenti? Mama juga jadi hemat , kan? Karena cuma bayar bimbelnya Rakha aja." Gue masih keberatan dengan saran Mama.
Mama menyentuh pundak gue. "Begini, Rayi ..."
Rayi lagi.
"Mama daftarin kamu sama Rakha bimbel itu biar kamu lebih paham sama pelajaran yang diajarkan di sekolah. Selain itu, kamu bisa punya banyak waktu dan kesempatan untuk bertanya tentang materi yang belum atau nggak kamu mengerti. Nggak ada batasnya. Kamu bisa bertanya sebanyak mungkin dan tentu saja itu keuntungan buat kamu. Kamu bisa lebih paham dibanding teman-teman kamu yang nggak bimbel. Paham sampai sini?" Jelas Mama, tapi gue masih diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.
Teen Fiction[Completed] [Seri ke-tiga The Book of Us] Our dream begin in youth.