Notes: tulisan yang dicetak miring artinya flashback ya, nuhun😘
***
—Renata
"Mbak Rere,"
Aku membenarkan posisi masker saat Renaya memintaku mendekat melalui gerakan tangannya yang lemah. "Apanya yang sakit, Nay?"
Renaya tersenyum kecil, "Nggak ada."
Aku menahan isakanku sekuat tenaga saat kembali melihat keadaannya. Tubuhnya yang terbaring dikelilingi mesin yang berkedip dan selang-selang, juga kepalanya yang tertutup perban.
"Tian gimana, Mbak?" Tanyanya, "Bayi baik-baik aja, kan?"
Hatiku mencelos. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak sanggup membayangkan reaksi Renaya apabila dia tahu kalau suaminya telah tiada. Juga bayinya yang harus berada dalam inkubator.
Aku mengangguk, "Bayi laki-laki, Nay. Anak kita laki-laki."
What funny is, Renaya selalu memanggil calon anaknya dengan sebutan Bayi sejak dalam kandungan.
Renaya tersenyum lagi. "They're gonna be best friend."
"Sibling. They're gonna be sibling. Like us." Ujarku yakin.
Masih teringat jelas dalam ingatanku saat pertama kali Bapak membawa Renaya ke rumah dan mengenalkannya sebagai adik perempuanku dan Rendi. Dia baru saja lulus SMA saat itu. Badannya kurus, wajahnya putih pucat, tapi bibirnya selalu mengulas senyum.
Bapak bilang, aku harus berbagi kamar dengannya. Yang tentu saja langsung kutolak secara terang-terangan. Belum cukupkah aku berbagi Bapak dengannya, sampai harus berbagi kamar juga?
"Aku minta maaf, Nay. Seandainya kamu nggak pergi ke sini buat nengokin aku, semua ini nggak akan terjadi."
Kata maaf rasanya tidak akan pernah cukup untuk membayar apa yang dialaminya.
"Jangan minta maaf," tangannya menyentuh punggung tanganku. "Aku baik-baik aja."
Aku pernah membencinya begitu dalam, karena banyak alasan.
Dia mengambil Bapak, dia mengambil perhatian dan kasih sayang Ibu serta Rendi, dia dibuatkan kamar di rumah yang sejak bayi aku tinggali, dia kuliah di kampus yang sama denganku, dan seakan belum cukup ... namanya juga mirip dengan namaku. Aku benci.
"Selama aku nggak ada, tolong jagain Bayi ya, Mbak. Tian ceroboh. Aku nggak yakin dia bisa gantiin popok, mandiin, dan bikin susu sendirian."
Kali ini aku tidak bisa membendung air mataku yang mulai menganak sungai.
"Omelin juga boleh, biar Tian bisa dan nggak ngerepotin mulu."
Maskerku basah. Dadaku nyeri dan kepalaku berdenyut seperti baru saja dipukul.
"Kamu nggak akan ke mana-mana, Nay." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Tolong jagain Bayi buat aku. Aku mohon." Pintanya lirih.
Dulu, beberapa kali aku pernah berharap ketidakbahagiaan menimpa dan menyertai hidup Renaya. Dulu aku selalu berpikir dia pantas mendapatkannya karena dia telah mengambil kebahagiaanku.
Saat ini, aku benar-benar menyesalinya. Sangat menyesalinya. Karena ternyata Tuhan mengabulkan pengharapan jahatku. Tuhan mengambil Tian. Tuhan membuat Bayi melihat dunia di waktu dan keadaan yang tidak tepat. Ketidakbahagiaan yang aku harapkan, benar-benar menimpa Renaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.
Teen Fiction[Completed] [Seri ke-tiga The Book of Us] Our dream begin in youth.