37. Mi Familia

270 38 2
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Kung, kenapa harus sembunyiin semua ini dari aku?"

Gue tersenyum kecut. Sadar kalau daritadi gue bersikap konyol. Bertanya sampai berbusa-busapun, pertanyaan gue nggak akan pernah dijawab.

Jujur ... masih ada sisa kesal yang mengendap sejak semalam. Jika saja dulu Yangkung nggak mendua dan menikah lagi, mungkin nggak akan ada hati yang tersakiti.

Yangti, Mama, Om Rendi, dan ... Ibu.

Gue nggak akan menilai siapa yang paling tersakiti. Karena pada kenyataannya, semuanya pasti sakit hati. Semuanya terluka. Semuanya punya lara.

Dalam Matematika, ada yang namanya probabilitas. Yaitu, peluang atau kemungkinan dari suatu kejadian, terjadi atau tidak, dan seberapa besar kemungkinan kejadian tersebut berpeluang untuk terjadi.

Akibat Yangkung mendua dan menikah lagi, kemungkinan-kemungkinan yang seharusnya nggak terjadi, pelan tapi pasti berpeluang untuk terjadi. Yangkung membuka peluang kepada rasa sakit hati, benci, bahkan perasaan bersalah untuk menggerogoti keluarga yang semula utuh.

Dan gue ... seandainya Yangkung nggak mendua dan menikah lagi, gue nggak akan duduk menatap tiga pusara dengan kepala penuh pertanyaan dan sarat akan kebingungan.

Gue harus bagaimana? Gue harus pulang ke mana? Gue harus menuntut penjelasan pada siapa?

Semuanya nggak terjawab karena Yangkung pergi tanpa menjelaskan apa-apa. Rasa penasaran itu akan selamanya menjadi tanya. Dan segala probabilitas yang seharusnya nggak terjadi, sudah terlanjur dialami.

Mau menyalahkanpun rasanya nggak elok dan nggak akan ada gunanya, toh orangnya udah nggak ada. Justru kalau semakin dikorek, akan ada yang kembali terluka, padahal sudah terlupa. Semuanya harus berhenti tanpa selesai. Semuanya harus dianggap usai.

Rasa kecewa jelas ada. Bagaimanapun Yangkung telah menduakan Yangti. Tapi rasa sayang gue pada Yangkung jauh lebih besar. Kehilangan orang sepenting Yangkung, mengenalkan gue pada kehilangan dan kekosongan yang mirip gelombang laut. Terkadang surut, tapi di waktu-waktu tertentu ada kalanya pasang dan membuat gue tenggelam dalam kesedihan.

Bagi beberapa orang, termasuk gue, waktu nggak menyembuhkan. Waktu hanya berjalan. Ingatan akan kehilangan nampaknya akan selalu ada. Ditambah, kebenaran akan kehilangan yang terjadi sejak lama yang sayangnya, baru gue ketahui sekarang.

Gue hanya perlu menerima. It is my whole life. It is real. Kenyataannya memang begini.

Tatapan gue beralih pada pusara Ibu dan Ayah.

Ibu dan Ayah.

Ada sedikit nyeri setiap gue mengucapkannya. Bagaimana jadinya kalau mereka masih ada? Mungkin gue akan punya dua adik yang lucu dan menggemaskan. Mengingat, Ibu menuliskan keinginannya untuk punya tiga orang anak.

[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang