Utuy pernah bilang, Jonas Banda adalah cagar budaya Bandung.
Gue setuju sama statement ini. Kalau dipikir-pikir, orang Bandung suka banget foto studio. Foto kelas tiap tahun, foto angkatan, foto ekskul, foto kepanitiaan, foto geng, bahkan pulang bukber nggak akan lengkap kalau nggak foto studio.
Gue berani berkata demikian karena gue mengalami semuanya. Bahkan sekarang nih, gue lagi duduk di kursi panjang buat nunggu giliran foto studio. Di Jonas Banda pula tempatnya.
"Ceuk urang mah (kata gue), si Nina kalau nggak bisa hari ini nggak usah bilang oke. Kieu kan jadina (gini, kan, jadinya)?" Zaidan berujar kesal.
"Iya ih lamaaaaa. Buang-buang waktu." Cintami yang dari tadi sibuk dengan handphone-nya menimpali.
"Bentar lagi sampe kok, lagi jalan nih dia." Ivanka menunjukkan layar handphone-nya pada kami yang duduk berderet di kursi panjang.
"Ti tatadi di jalan wae ngomongna, tapi teu nepi-nepi (dari tadi di jalan terus ngomongnya, tapi nggak sampe-sampe)." Zaidan makin terlihat keki.
"Jangan gitu lah. Dia udah menyesuaikan waktunya sama kita-kita kali. Kemaren pas semua pada bisa, lo-nya nggak bisa." Fatur menunjuk Zaidan. "Kemarennya lagi si Ivanka yang nggak bisa. Besok, banyak yang pada nggak bisa. Dia ngalah mulu kali biar semua bisa ikut foto."
"Iya, Kak. Lagian menurut aku nggak ada salahnya kita nunggu sebentar." Cetus Alin yang membuat gue menoleh kaget. Pasalnya suara dia melengking, dan gue duduk di sebelahnya.
Cintami menurunkan handphone-nya. Dia menatap sinis ke arah mmm ... gue atau Alin, ya? "Sebentar apanya?! Ini udah sejam lebih, lho. Antrian kita udah dua kali mundur gara-gara si Nina nggak dateng-dateng!" Astaga dia nge-gas!
"Maksud aku, nggak ada salahnya kalau kita tunggu Kak Nina sebentar lagi." Di sebelah gue, Alin membalas. Suaranya nggak semelengking tadi.
"Tahu, nih. Meskipun dia kadiv, hargain juga waktu kita, dong!" Nakita ikut bersuara, kemudian diikuti bisik-bisik anggota yang lain.
Hari ini Divisi Acara sepakat untuk foto studio setelah berunding di grup. Anggota udah lengkap, tinggal nunggu Lala yang katanya lagi try out di tempat bimbelnya. Emang lama, sih. Gue aja udah ke toilet dua kali, tapi dia belum sampai juga.
Sebenarnya acara foto studio ini udah dibahas sejak bulan lalu, tapi nggak kunjung terealisasi. Sejak evaluasi dan pembubaran di rumah Faiz waktu itu, kami belum sempat kumpul-kumpul khusus Divisi Acara lagi. Pengennya Lala, Divisi Acara juga ada pembubaran yang lebih intimate karena kami udah kerja bareng as a team lebih dari enam bulan. Rencananya, abis foto studio nanti kami bakal makan-makan sambil nostalgia. Bahkan Ivanka bilang Lala udah booking tempat dan bayar DP di rumah makan Sunda nggak jauh dari sini.
"Kan lo sendiri yang nyaranin pada dateng jam setengah 10. Padahal di grup, Nina udah bilang bakal telat. Jadi dia minta kita dateng jam setengah 11 aja biar nggak kelamaan nunggu." Ivanka membalas dengan nada sewot yang kentara. Mungkin nggak terima sohib kentalnya didumelin semua orang.
"Biasa aja dong lo nggak usah nyolot!" Ujar Nakita nggak kalah sewot.
Ivanka merengut, "Apaan, sih. Gue santai aja perasaan."
"Udah ... udah, kok malah berantem?" Fatur melerai.
"Jangan diem aja dong, Ray! Lo, kan, wakilnya. Ambil sikap, dong! Mau jadi nggak nih foto studionya?" Giliran gue yang kena omel Cintami.
Gue menggaruk kepala, bingung karena mendadak ditanya demikian. Sejujurnya gue nggak terlalu excited ikut acara ini. Sabtu begini mending leyeh-leyeh di rumah, baca buku terus bikin Indomie goreng pakai telor ceplok.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.
Teen Fiction[Completed] [Seri ke-tiga The Book of Us] Our dream begin in youth.