28. When The Lights Go Out

238 29 4
                                    

Gue menutup pintu kamar dengan jantung yang masih berdebar kencang. Masih nggak percaya dengan apa yang baru saja gue alami.

Gue dicium Lala.

Ya Allah.

Gue menyentuh bibir yang belum sampai setengah jam dicuri ciumannya untuk pertama kali. Gue menggelengkan kepala berulang kali karena kembali mengingat hangat napas Lala yang menerpa wajah gue karena jarak kami begitu dekat.

Gue duduk berselonjor di atas karpet dengan badan menyender ke sisi tempat tidur. Mengeluarkan handphone dari saku celana dan membuka aplikasi WhatsApp.

To Lala Jutek: La

Hapus.

To Lala Jutek: La, sorry maksud lo apa ya tadi?

Hapus.

To Lala Jutek: La, kita harus ngomong

Hapus.

"Aarrgghh!" Gue melempar handphone dan mengacak rambut frustrasi.

Ini tuh nggak adil nggak, sih? Gue berhak menuntut penjelasan karena Lala udah seenaknya mencium bibir gue tanpa izin. Maksud gue, ini udah melewati batas wajar interaksi seorang teman. Gue nggak bodoh, mana ada teman ciuman? Iya, kan?

Lagipula dari kecil gue diajari Mama untuk menghormati orang lain, nggak boleh nyentuh anggota badan orang lain tanpa izin. Begitu juga sebaliknya, saat ada orang lain yang menyentuh anggota badan gue tanpa izin, gue berhak marah dan melawan.

Mana Lala main kabur gitu aja lagi. Nggak bisa gini, nggak bisa!

Gue kembali meraih handphone yang tergeletak di atas karpet.

To Lala Jutek: La, gue nggak ngerti maksud dan tujuan lo apa sampe berbuat kayak tadi

To Lala Jutek: I mean, gue butuh penjelasan

To Lala Jutek: Besok kita bisa ngobrol?

Telunjuk gue bersiap menekan tombol kirim, tapi bukannya mengirim, telunjuk gue kembali menghapus pesan balasan yang udah gue ketik untuk Lala.

Gue memandangi room chat gue dengan Lala. Men-scroll dan membaca ulang chat-chat sebelumnya hingga entah bagaimana ceritanya telunjuk gue tergelincir dan menekan tombol panggil.

Ringing.

Gue panik dan dengan cepat membatalkan panggilan. Mengetuk-ngetuk layar handphone sekuat tenaga, dan buru-buru menekan tombol power hingga handphone benar-benar mati. Bego anjir!

Hah, gue nggak nyangka, dicium cewek efeknya bisa sedahsyat ini.

***

Tiga hari sebelum pembagian rapor, para panitia sepakat melakukan evaluasi dan pembubaran panitia. Sesuai kesepakatan, acara dilaksanakan di rumah Faiz yang besar dan luas, jadi bisa menampung banyak orang.

Ini tuh artinya udah seminggu lebih acara Triple One Project beres. Yang artinya, udah seminggu lebih juga Lala menghindari gue. Menghindarnya Lala beneran menghindar nggak kelihatan. Chat gue diabaikan tanpa balasan, telepon gue nggak diangkat, di sekolah tiap disamperin ke kelas nggak pernah ada, bahkan tiap gue dateng ke rumahnya dengan pura-pura mau main sama Nino, Lala mengunci diri di dalam kamar dengan alasan lagi belajar dan nggak mau diganggu.

Pulang sekolah, kami langsung meluncur ke rumahnya Faiz di Arcamanik. FYI, rumahnya Faiz itu tipe rumah orang kaya yang sering muncul di sinetron televisi, punya taman dan kolam renang di halaman belakang. Asistennya lebih dari dua orang yang punya job-desc berbeda. Ibunya sangat welcome dan membolehkan kami bermain sesuka hati.

[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang