Notes: mohon abaikan tahunnya ya ... nuhun💓
***
Gue dijemput Om Rendi nggak lama setelah adzan Subuh berkumandang, kemudian diantar ke rumah Yangti tanpa bertanya apa-apa. Ia hanya berpesan, lain kali jangan pergi tanpa kabar. Selain bikin orang rumah khawatir, juga untuk menghindari hal-hal yang nggak diinginkan terjadi, katanya.
Yangti tentu saja kaget. Saat beliau membukakan pintu buat gue, gue segera menghambur ke pelukannya. Gue hanya menggeleng setiap Yangti mengajukan pertanyaan. Mulai dari: sama siapa ke sini? Dari Bandung jam berapa? Kenapa sendirian? Kenapa nggak ngabarin dulu? Sudah izin Papa dan Mama?
Hingga akhirnya Yangti menyerah dan menyuruh gue untuk bersih-bersih badan, ambil wudhu lalu salat, dan istirahat. Gue baru keluar kamar karena nggak tega mendengar Yangti bolak-balik ketuk-ketuk pintu menyuruh gue untuk makan.
"Enak, Ray?" Yangti bertanya penuh harap saat gue mengunyah satu sendok nasi bersama tumis kacang panjang dan segigit mendoan yang sudah dingin.
Gue mengangguk, "Enak." Air mata gue tiba-tiba keluar lagi saat kembali menatap masakan yang disajikan Yangti di hadapan gue. Sayur bening bayam, tumis kacang panjang, tempe mendoan, tahu tempe bacem, dan sambal terasi. Gue baru sadar, gue belakangan cengeng banget. Dikit-dikit nangis. Lihat makanan doang nangis.
"Eh ... kenapa? Kenapa nangis?" Yangti berujar panik. Beliau buru-buru menuangkan air ke dalam gelas, dan mengangsurkannya pada gue.
"Enak banget, Ti. Enak banget." Gue mengusap mata dengan punggung tangan. Kembali menyuap nasi hingga mulut penuh. "Aku jarang makan kayak gini di rumah."
"Makan yang banyak," Yangti menyendok tumis kacang panjang dan menaruhnya di piring gue. "Pelan-pelan makannya."
Dari kecil, seringnya gue sarapan nasi goreng, sayur sop, telur ceplok, atau nugget dan sosis goreng buatan Papa. Nggak pernah bawa bekal ke sekolah kayak Lolo dan Nino. Lalu sorenya Mama akan bertanya di grup mau beli makan apa.
Gue nggak pernah mempermasalahkan Mama yang jarang masak. Gue nggak pernah komplain kalau Mama lebih sering beli makanan. Gue tahu dia sibuk, dan pasti capek karena kerja seharian. Tapi gue nggak bisa bohong, gue juga pengen makan masakan Mama tiap hari.
***
"Waktu kecelakaan, usia kandungan Naya baru jalan 29 minggu. Nggak lama setelah syukuran Mitoni*."
Beres makan dan cuci piring, gue dan Yangti duduk di depan televisi. Menonton channel secara random, menikmati apapun yang ditayangkan layar datar di hadapan kami. Memang nggak sepenuhnya ditonton, tapi seenggaknya ada suara yang mengisi keheningan yang kerap kali tercipta saat gue dan Yangti sama-sama diam.
Gue memberanikan diri bertanya pada Yangti soal siapa gue sebenarnya. Apakah benar kalau gue bukan anak Mama seperti yang gue dengar tadi malam? Entahlah, apakah gue masih boleh memanggilnya Mama. Atau justru gue harus memanggilnya Bude seperti yang dilakukan Rumi?
"Yangti masih ingat, hari Minggu tanggal 23 April, Subuh-subuh Rere dibawa ke rumah sakit karena kontraksi." Gue menoleh menatap wajah senjanya. Keriput menghiasi di sana-sini, tapi nggak menutupi aura teduh yang dipancarkannya. "Dan akhirnya Ba'da Dzuhur Rakha lahir."
Saat ini, televisi menayangkan seorang pria bertubuh tinggi besar dengan kepala tertutup kain berwarna merah tengah mencari bekicot di semak-semak.
"Tapi sorenya, waktu Yangti mau nyuruh Yangkung pulang untuk bawa baju ganti, Rendi kasih kabar kalau mobil yang ditumpangi Tian dan Naya mengalami kecelakaan. Jaraknya dekat sekali dengan rumah sakit tempat Rere melahirkan. Karena memang mereka sedang menuju ke sana." Pandangan Yangti masih terpusat pada layar televisi. Pria yang kepalanya tertutup kain berwarna merah itu kini tengah mencuci bekicot-bekicot yang didapatnya. "Yangti rasanya mau pingsan waktu lihat keadaan Naya."
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.
Teen Fiction[Completed] [Seri ke-tiga The Book of Us] Our dream begin in youth.