Memuji masakan ibu adalah salah satu cara untuk menyampaikan rasa terima kasih. Tapi pernah nggak, kalian merasa sedikit menyesal karena sudah berbuat demikian?
Gini ... gini ...
Jumat sore minggu lalu, setelah sekian lama nggak menyentuh wajan dan alat tempur lainnya, Mama tiba-tiba bikin orek tempe sama bakwan jagung, dan rasanya enak. Terutama orek tempenya, bikin nambah nasi. Ya gue bilang apa adanya, dong. Gue bilang sama Mama kalau orek tempenya enak, gue suka.
Terus sekarang gue jadi agak menyesal karena ngomong begitu. Soalnya Mama jadi masak orek tempe mulu tiap hari. Beneran tiap hari, everyday! Bahkan tiap gue buka lemari es, rasanya males banget karena mata gue langsung disuguhi tempe yang jumlahnya berpapan-papan. Hhhhhh.
"Ma, nggak usah banyak-banyak bikinnya."
Paling juga aku doang yang makan.
Lanjut gue dalam hati.
Mama yang tengah memotong-motong tempe menjadi bentuk dadu, menoleh. Dahinya mengerut, dan kedua alisnya setengah naik. "Kenapa? Kamu, kan, suka."
Gue meringis. "Ya ..." Gue mencoba mencari kata-kata yang sekiranya pas untuk membalas ucapan Mama. "Biar bisa bikin menu yang lain. Nggak orek tempe aja." Nggak lupa disertai kekehan di ujung kalimat.
Kedua mata Mama berbinar entah untuk alasan apa. "Kamu mau dibikinin apalagi? Bihun goreng? Tumis jamur? Tumis kacang panjang? Sayur bayam?" Mama menyebutkan menu masakan yang pernah dibuatnya.
"Sayur asem?" Gue mengusulkan menu lain. Karena sejujurnya gue lagi pengen makan itu. Ah, jadi kangen sayur asemnya Yangti.
Bahu Mama melorot, binar di matanya hilang perlahan, bersamaan dengan helaan napas yang kentara. "Mama belum jago bikin sayur asem. Takut nggak enak."
Gue menggaruk dahi, kembali bingung harus bereaksi seperti apa. "Bihun goreng aja, Ma." Putus gue akhirnya.
Senyum Mama merekah, "oke!"
Mama melanjutkan kegiatannya memotong tempe, sedangkan gue bantuin ngupas bawang sama ngambil barang atau bahan masakan kalau disuruh.
Hari ini kami cuma berdua aja di rumah. Papa sama Rakha pergi sepedaan dari jam enam pagi. Mas Janu masih betah di Kalimantan. Katanya baru pulang sekitar dua mingguan lagi, mepet-mepet mau wisuda.
Dari sekian banyak hal yang bertolak belakang antara gue dan Mama, kami punya satu kesamaan: diem di rumah di hari Minggu. Gue dan Mama punya pandangan yang sama soal menghabiskan weekend, yaitu saving the energy untuk satu minggu ke depan. Kami berdua lebih memilih nonton film atau baca buku seharian daripada olahraga panas-panasan kayak Papa dan Rakha. Nggak juga kayak Mas Janu yang susah ditebak jalan pikirannya. Pas masih di Bandung, Mas Janu akan menghabiskan hari Minggunya dengan hal-hal random. Kadang dia tiba-tiba ngirim foto di grup lagi belajar bikin vas bunga dari tanah liat, ngirim foto lagi belajar melukis atau bikin mural art bareng komunitas, ngirim foto lagi ikut baksos sama orang-orang Pemda, ngirim foto lagi bersih-bersih mesjid komplek, ngirim foto lagi buka lapak baca buku gratis di CFD, atau ujug-ujug ngirim foto lagi di Plered makan sate Maranggi.
"Gimana? Enak, nggak?" Mama menatap penuh harap saat gue baru saja menyendok nasi ke mulut.
Gue mengunyah makanan perlahan, sebelum menganggukan kepala berkali-kali sebagai jawaban atas pertanyaan Mama.
"Enak," ujar gue setelah menelan sendokan ke-dua. "Mama makan juga dong."
Mama tersenyum, tangannya kembali menyendok orek tempe buatannya dan menaruhnya di piring gue. "Makan yang banyak, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.
Teen Fiction[Completed] [Seri ke-tiga The Book of Us] Our dream begin in youth.