"Bantuin gue di Divisi Acara."
Kali ini gue nggak terkejut kayak waktu itu, justru sekarang gue hampir aja tertawa. Ternyata Lala nggak nyerah bujuk gue biar mau jadi Kadiv. Hmm, si jutek ini butuh gue juga ternyata.
Gue maju selangkah, dan tindakan gue barusan membuat Lala menggeser badannya. "Jadi Kadiv?" Gue mulai menyalakan keran dan membilas piring yang dari tadi gue pegang.
"Bukan."
Gue menoleh menatapnya, "terus jadi apa?"
Lala bersedekap, "jadi wakil gue. Gue Kadivnya."
Sialan, gue udah besar kepala padahal.
Gue menaruh piring yang udah dibilas ke rak kecil di sebelah kitchen sink, kemudian membilas piring-piring yang lain. "Males ah, lo jutek."
Lala mematikan keran dengan sengaja. "Serius, Ray!"
Gue berdecak, "gue serius." Gue menatap Lala yg kini juga tengah menatap gue. "Lo jutek, ngambekan, tukang maksa."
Lala mengerjap dan tampak berpikir. "Oh ... jadi di mata lo, gue jutek, ngambekan, dan tukang maksa?"
Tanpa ragu gue mengangguk.
"Jelek banget ya ternyata gue di mata lo?" Gumamnya ketus.
Tuh, gitu doang udah marah. Nggak salah dong ucapan gue? Karena memang begitu kenyataannya, kan?
Gue memutar badan, menghadap Lala sepenuhnya. "La, gue pernah bikin salah ya sama lo? Jujur aja, takutnya gue nggak sadar."
"Apaan, sih." Lala melengos malas.
"Abisan lo jutek ke gue doang. Perasaan sama Rakha baik bener sampe bantuin bikin pasta. Sama Abi manis bener sampe ngasih cokelat. Tapi ke gue bawaannya kayak pengen lempar granat mulu." Hebat! Gue ngomong dalam satu tarikan napas.
"Apaan, sih?! Kok lo jadi ke mana-mana ngomongnya?" Tuh, kan, nyolot lagi. Kesel, deh, gue lama-lama.
"Tinggal jawab mau atau nggak. Kalau mau, syukur. Kalau nggak, lo kebangetan karena lo udah bikin gue mohon-mohon sampe dua kali." Nah, kan, dasar tukang maksa.
Gue kembali berdecak. "Harus clear, dong. Sikap lo sama gue aja kayak memusuhi, tapi ngajakin kerja bareng dalam satu divisi."
"Dan jujur, gue nggak mau kerja bareng sama orang yang nggak kooperatif. TOP ini perlu persiapan berbulan-bulan, perlu banyak diskusi, sharing ide, mikirin alternatif, bikin plan A sampai Z, termasuk cari solusi. Gue nggak bisa bayangin harus ngadepin lo yang ngambekan tiap hari." Lanjut gue lagi.
Raut muka Lala berubah. Nggak, bukan kayak mau marah seperti yang gue bayangkan. Tapi lebih ke ... sedih?
"Yang musuhin gue tuh elo, Ray! Lo yang jauhin gue, lo yang nggak mau temenan sama gue!"
HAH?!
Lala tersenyum sinis, "lo nggak inget pernah buang gue dari kelompok drama?"
HAH?!
Otak gue masih loading, masih mencoba mengingat kejadian yang Lala katakan, tapi Lala udah ngomong lagi. "Sumpah lo nggak inget, Ray? Waktu SMP kita pernah sekelas dan sempet satu kelompok buat tugas drama."
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] The Book of Us: YOUTH, DREAM.
Teen Fiction[Completed] [Seri ke-tiga The Book of Us] Our dream begin in youth.